Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mertua Memanggilku Jurig

10 Januari 2018   10:47 Diperbarui: 11 Januari 2018   03:59 1563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (@kulturtava)

Entah apa mertua setiap kali memanggilku tak lupa diembel-embeli kata jurig. Awalnya aku tak peduli dengan sebutan itu meski belakangan arti kata itu kutahu sama dengan sebutan hantu. Aku bertambah heran mengapa mertuaku, walau sudah punya anak dua, tetap saja memanggilku jurig. Padahal dari sikap dan tutur katanya sangat santun. Dibanding dengan lima mantunya, boleh jadi akulah yang tergolong paling disayang.

Mertuaku ini beretnis Sunda. Tepatnya, ia berasal dari kawasan kota Majalengka, Jawa Barat. Ia sudah puluhan tahun bermukim di kawasan Pogung Lor, tak jauh dari Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Jika melihat latarbelakang dan tempat tinggalnya saat itu, aku tambah heran mengapa orang tua yang berpendidikan tinggi, pandai Bahasa Belanda pula, memanggilku sering dengan sebutan jurig.

Karena aku mantau tergolong disayang, sebutan jurig yang sering dilontarkan mertuaku itu tidak kuhiraukan. Masa bodo', itu tak penting. Realitasnya, mertuaku yang kupanggil Mbah Uti sangat sayang kepadaku.

Apa bukti tanda ia sayang?

Nih buktinya. Setiap kali bertandang ke Yogyakarta, usai shalat subuh, sarapan sudah tersedia. Gelas berisi teh dan kopi disuguhkan. Dalam kondisi hangat disajikan di atas meja berukir kuno apik dan antik. Koran lokal -- Kedaulatan Rakyat -- pun sudah disiapkan di sisi kiri nasi goreng hangat, dengan maksud agar aku tak ketinggalan informasi hari itu.

"Jurig, kamu dari mana malam hari datangnya?"

"Ya, mbah. Dari Salatiga dulu, lalu pindah-pindah mobil terus ke sini," jawabku sambil menatap mata si Mbah Uti.

Aku memang punya kebiasaan, kalau berdinas ke kawasan Jawa Tengah selalu menyempatkan diri ke Yogyakarta. Meski letaknya jauh, pokoknya diusahakan bisa berjumpa mertua.

Ia tersenyum. Aku juga. Lalu tertawa berama. Gembira bersama saat pagi itu. Kebetulan sekali hari itu akhir pekan, sehingga aku leluasa tak memikirkan kerjaan rutin.

"Gimana kabar anak-anak dan ibunya?" kata si Mbah melanjutkan pembicaraannya.

"Anak-anak baik. Semua sudah sekolah seperti biasa. Pembantu masih stabil, artinya tidak merengek minta pulang kampung. Cuma nyonya saja. Itu biasa, itu kan isteri kesayangan saya juga?" kataku seperti tengah melapor keadaan kepada pimpinan kantor.

Disinggung tentang kondisi nyonya dengan sebutan 'itu biasa', Mbah Uti seperti sudah paham. Mengerti tentang watak puterinya yang menjadi isteriku. Paham tentang penyakit 'bawaan' isteriku dan terlihat merasa was-was jika aku tidak diperlakukan sebagai seorang suami sebagaimana mestinya.

Mbah Uti sangat sayang kepadaku. Karenanya, berbagai upaya untuk menyembuhkan puterinya dari berbagai penyakit "aneh" dilakukan agar penyakit itu segera menjauh. Dengan harapan, tentunya, agar kehidupan rumah tanggaku harmonis.

Karenanya pula, kala pembantu merengek minta pulang, Mbah Uti sibuk. Ia mencarikan tenaga baru untuk mengasuh anak-anak di rumah. Maklum, hidup di Jakarta jika mengandalkan gaji dari suami semata maka tak cukup menunjang biaya hidup sehari-hari. Isteri pun harus kerja, tentunya.

Sayangnya, kala isteri kerja di kantor, ketidaksesuaian dengan rekan-rekannya dalam berkerja sering dijumpai. Itu sering kudengar sehingga disarankan oleh atasannya agar secepatnya mengambil keputusan untuk pensiun dini.

Tentu saja kabar buruk itu kusampaikan kepada mertua. Ia pun memahami hal itu. Namun, lagi-lagi, Mbah Uti memintaku untuk tetap menyayanginya. Ia berharap kepadaku untuk tabah menghadapi cobaan ini.

"Anak dan isteri adalah amanah. Jadi, lahir dan batin harus dijaga," kataku.

Dan, mendapat penegasan seperti itu, kupandangi Mbah Uti terlihat menitikan air mata.

Lantas, si Mbah Uti mengutarakan pengalamannya akan peristiwa pengobatan terhadap isteriku itu. Peristiwa pengobatan itu memang kusaksikan bersamanya. Awalnya si Mbah mengaku merasa aneh ketika didatangi nenek tua.

"Ya, mbah masih ingat si nenek tua dulu," katanya sambil mengingat-ingat beristiwa pengobatan yang terkesan aneh.

Kusaksikan si nenek itu selalu mengenakan Bahasa Jawa yang tergolong sulit dipahami. Jalannya pun sangat cepat. Kain yang melilit perut hingga kaki tak mempersulit langkah kakinya bergerak. Ia mengenakan kerudung kepala sederhana.

Setelah masuk ke dalam rumah, ia minta untuk diikhlaskan memberi pengobatan kepada isteriku. Saat itu, kondisi isteriku tengah histeris. Mengigau dan mulutnya nyerocos terus entah apa kata-kata yang berhamburan.

Setelah meminta semua orang di ruang tamu keluar, hanya aku dan Mbah Uti yang boleh masuk ke kamar. Lalu, si nenek yang tak kukenal namanya itu membaca mantera. Bagai muzizat, penyakit isteriku itu hilang.

Celoteh dari mulutnya pun berhenti. Rambutnya yang semua terlihat acak-acakan bagai orang ngamuk di jalan ramai sudah tertata apik. Ia nampak tenang. Namun terlihat binggung ketika keluar kamar dijumpai banyak orang.

Aku cepat-cepat menjumpai si nenek yang tak kukenal tadi. Maksudnya, untuk menyampaikan ucapan terima kasih. Seingatku, begitu keluar pintu rumah, si nenek sudah tak nampak dipandanganku.

"Iya mbah. Saya ingat. Ingin rasanya ketemu dengan si nenek itu. Mbah tahu rumahnya? Aku bertanya sambil berharap Mbah Uti dapat menunjukkan rumahnya.

"Kata tetangga di sini, ia tinggal jauh di tengah sawah. Ia datang ke rumah, kalau ada perlunya saja menolong orang tanpa diminta?" kata Mbah Uti.

"Wah, seperti jurig ya Mbah," jawabku yang disambut senyum si Mbah.

"Dia bukan jurig, tapi penolong. Orangnya ikhlas, membantu tanpa minta balasan, apa lagi minta uang," katanya cepat-cepat meluruskan pendapatku yang dianggapnya keliru.

Lantas, si Mbah Uti menjelaskan, kalau kamu dipanggil jurig pantas. Sebab, setiap datang ke Pogung, ke rumah ini, selalu pada malam hari.

"Yang datang malam hari, paling sering mahluk yang disebut jurig," kata si Mbah Uti sambil melempar tawa. Aku pun ikut tertawa dan membenarkan kalau datang ke kota gudeg itu selalu pada malam hari.

Kini Mbah Uti sudah beberapa tahun pulang kepangkuan Ilahi. Kadang, aku merasa rindu dengan sapaan atau sebutan jurig yang meluncur dari mulutnya. Ia sangat ramah dan sangat menyayangi anak dan cucu-cucunya.

"Jurig, darimana kamu malam begini baru datang. Istirahat dan tidur cepat sana,"  kata-kata itu yang sering kuingat kala aku datang ke Yogyakarta ke tempat si Mbah Uti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun