Disinggung tentang kondisi nyonya dengan sebutan 'itu biasa', Mbah Uti seperti sudah paham. Mengerti tentang watak puterinya yang menjadi isteriku. Paham tentang penyakit 'bawaan' isteriku dan terlihat merasa was-was jika aku tidak diperlakukan sebagai seorang suami sebagaimana mestinya.
Mbah Uti sangat sayang kepadaku. Karenanya, berbagai upaya untuk menyembuhkan puterinya dari berbagai penyakit "aneh" dilakukan agar penyakit itu segera menjauh. Dengan harapan, tentunya, agar kehidupan rumah tanggaku harmonis.
Karenanya pula, kala pembantu merengek minta pulang, Mbah Uti sibuk. Ia mencarikan tenaga baru untuk mengasuh anak-anak di rumah. Maklum, hidup di Jakarta jika mengandalkan gaji dari suami semata maka tak cukup menunjang biaya hidup sehari-hari. Isteri pun harus kerja, tentunya.
Sayangnya, kala isteri kerja di kantor, ketidaksesuaian dengan rekan-rekannya dalam berkerja sering dijumpai. Itu sering kudengar sehingga disarankan oleh atasannya agar secepatnya mengambil keputusan untuk pensiun dini.
Tentu saja kabar buruk itu kusampaikan kepada mertua. Ia pun memahami hal itu. Namun, lagi-lagi, Mbah Uti memintaku untuk tetap menyayanginya. Ia berharap kepadaku untuk tabah menghadapi cobaan ini.
"Anak dan isteri adalah amanah. Jadi, lahir dan batin harus dijaga," kataku.
Dan, mendapat penegasan seperti itu, kupandangi Mbah Uti terlihat menitikan air mata.
Lantas, si Mbah Uti mengutarakan pengalamannya akan peristiwa pengobatan terhadap isteriku itu. Peristiwa pengobatan itu memang kusaksikan bersamanya. Awalnya si Mbah mengaku merasa aneh ketika didatangi nenek tua.
"Ya, mbah masih ingat si nenek tua dulu," katanya sambil mengingat-ingat beristiwa pengobatan yang terkesan aneh.
Kusaksikan si nenek itu selalu mengenakan Bahasa Jawa yang tergolong sulit dipahami. Jalannya pun sangat cepat. Kain yang melilit perut hingga kaki tak mempersulit langkah kakinya bergerak. Ia mengenakan kerudung kepala sederhana.
Setelah masuk ke dalam rumah, ia minta untuk diikhlaskan memberi pengobatan kepada isteriku. Saat itu, kondisi isteriku tengah histeris. Mengigau dan mulutnya nyerocos terus entah apa kata-kata yang berhamburan.