Judul di atas datang dari obrolan seusai shalat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Sekitar empat hingga lima orang seusai melaksanakan shalat, mereka duduk santai meriung. Satu di antaranya merebahkan badannya, tidur-tiduran di atas karpet dan beberapa orang lagi duduk bersila.
Penulis tak jauh dari kumpulan orang ini yang sebagian mengenakan songkok putih, berjenggot dan mengenakan pakaian gamis. Sedangkan dua orang lainnya mengenakan pakaian koko khas Cina, bertelana panjang tanpa mengenakan jenggot. Seorang di antara mereka mengenakan baju batik. Boleh jadi yang satu ini adalah pegawai negeri dari kantor pemerintah terdekat.
Penulis sedikit terganggu ketika tengah berzikir. Bisa jadi disebabkan tertarik dari diskusi mereka yang terasa makin hangat. Sambil menoleh ke arah belang perlahan, kudengar di antara mereka memprotes penyelenggaraan ibadah haji.
Katanya: "Baru kali ini ane dengar ibadah dipajeki?"
Si berjanggut panjang, rekannya menimpali dengan pernyataan lebih keras. "Kita beruntung, semua orang beragama, di Indonesia, masuk rumah ibadah tidak dipajekin. Arab Saudi, memberlakukan pajek untuk ibadah haji, sudah kelewatan."
"Ibadah memang tak bisa lepas dari unsur uang. Di Istiqlal aja ada kotak amal. Tapi bukan berupa pajak. Ane khawatir, ke depan, masuk Masjidil Haram dikenai pajak," katanya penuh sewot.
Mendengar ucapan bernada keras itu, rekannya yang sudah hampir tidur memberi komentar. Katanya:" Omongan ente itu sama aje menuduh Raja Salman, penguasa Arab Saudi, sebagai kapitalis. Sebab, menjalankan ibadah pantesnya bebas pajak. Bukankah ibadah haji itu mendatangi Baitullah di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan rumah suci lainnya di Tanah Suci. Â Itu pun dilakukan jika mampu, penuhi syarat istithaah."
Jadi, obrolan orang-orang ini, kesimpulannya tengah membahas ongkos naik haji yang bakal naik mulai tahun 1439 H/2018 M ini. Mereka merasa kesal bukan di antara kelompok diskusi kecil itu akan menunaikan ibadah haji dalam waktu dekat, tetapi terkait pelaksanakan ibadah (haji) dikenai pajak.
Kenaikan ongkos haji disebabkan biaya transportasi, pemondokan dan jasa di Tanah Suci, misalnya, bisa diterima. Tetapi ini dikenai pajak.
"Ane kira, penguasa negeri di Saudi lagi 'kalap', menghadapi krisis di dalam negeri dicarikan solusi tidak tepat," kata si janggut panjang.
Diskusi berakhir begitu saja setelah salah seorang di antara kelompok itu mengajak untuk makan soto di sekitar kawasan Majid Istiqlal. Penulis, yang sejak lama nguping, ya nggak disertakan. Apa lagi diajak mereka. Saya kan 'out group'.