Kala meliput di lingkungan Istana, gaya bicara Arnaz sedikit rada mirip dengan pembawaan kehidupan Moerdiono. Bedanya, Moerdiono pejabat dan kaya, sedangkan Arnaz tetap saja "kere" seperti kebanyakan wartawan saat itu. Bicaranya pendek dengan sesekali tertahan di tenggorokan. Kesan penulis, saat itu, Arnaz bicara seperti orang menahan kentut ketika berada di masjid untuk shalat berjamaah. Saya tak tahu persis, apakah jika sesorang dekat dengan pejabat bisa ikut mempengaruhi perilakunya juga. Pendek kata, adakah gaya lain dari Moerdiono berdampak pada Arnaz. Entahlah. Yang jelas, sekarang -- mungkin karena Pak Moerdino sudah tiada -- bicara dengan gaya seperti itu sudah ditinggalkan.
Ketika bekerja, ia kadang harus mondok di kantor lantaran keterbatasan fisiknya. Ia harus menjaga kesehatan namun tak bisa meninggalkan profesinya yang dicintainya itu. Biarlah hidup menjadi "kuncen", namun pengabdian tak boleh putus. Kuncen dalam pengertian umum dipahami sebagai juru kunci di tempat keramat. Ia dianggap tahu silsilah dan riwayat tempat yang dijagainya.
Tapi, tentu, bagi Arnaz itu tidak terlalu penting. Hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk mengabdi di profesi ini. Ia tak malu, apa lagi minder bersentuhan dengan mahasiswa yang mendatanginya untuk dibimbing ketika latihan kerja di Kantor Berita Antara itu. Dengan sabar, ia membimbing teknis menulis dan membagi ilmu meski kewenangan itu sesungguhnya adalah kewajiban jurnalis yang duduk di kursi struktural.
Kini Antara sebagai kantor berita tengah menghadapi tantangan besar. Namun tidak boleh merasa takut untuk menjadi besar. Antara harus membesarkan dirinya secara korporat, kuat dalam finansial, punya sumber daya manusia yang mumpuni dan tetap dapat ambil bagian untuk membesarkan negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H