Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Etnis Tionghoa sebagai Pembawa Islam dan "Gorengan Politik" [Bagian II]

28 November 2017   05:11 Diperbarui: 28 November 2017   11:05 3120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para tokoh, pejuang dan relawan etnis Tionghoa diabadikan dalam galeri Museum Hakka, Jakarta. Foto | Dokpri

Perlu keberanian dan sejarah memang harus diluruskan. Hitam harus dikatakan senyatanya hitam dan putih haruslah disebut sedemikian adanya. Dengan cara itu kita dapat menempatkan rasa hormat sebagaimana mestinya. Hal ini erat kaitannya dengan sejarah etnis Tionghoa sebagai pembawa Islam yang jejaknya "disamarkan" dan kadang "digoreng" sedemikian rupa untuk kepentingan instumen politik.

Mengapa pribumi jadi isu?

Menggarisbawahi pesan BJ Habibie, senyatanya jika melihat sejarah masuknya Islam ke Indonesia ternyata memiliki sejarah demikian panjang. Dalam realitas keseharian, masih ada warga di zaman "now" memahaminya secara terkotak-kotak. Tidak heran karenanya, ada warga yang menjelek-jelekan rekannya sebagai etnis Tionghoa karena nonmuslim, ternyata di dirinya sendiri mengalir darah keturunan Tionghoa.

Tedy Jusuf, seorang purnawirawan Brigadir Jenderal Tentara Nasional Indonesia membenarkan adanya kenyataan itu. Dia adalah mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tahun 1995-1999 dari Fraksi ABRI saat itu. Tedy lahir di Bogor pada 24 Mei 1944 dan ia merupakan salah satu tokoh pendiri yang ikut mendeklarasikan berdirinya Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia pada tanggal 28 September 1998 dan menjabat sebagai Ketua Umum untuk periode 1998-2000.

Tentara beretnis Tionghoa ini sekarang mengelola kawasan Taman Budaya Tionghoa-Indonesia. Suatu kesempatan, ia pernah mengatakan pada penulis dapat mengindentifikasi seseorang, apakah yang bersangkutan berdarah Tionghoa atau bukan. Ciri itu bisa dilihat, pertama manakala anak baru dilahirkan atau masih bayi. Ciri kedua, saat bersangkutan memasuki usia senja.

Gedung kantor Hakka di kawasan Batu Ceper, Jakarta. Foto | Dokpri
Gedung kantor Hakka di kawasan Batu Ceper, Jakarta. Foto | Dokpri
Museum Hakka, di kawasan TMII Jakarta. Foto | Dokpri
Museum Hakka, di kawasan TMII Jakarta. Foto | Dokpri
"Apa ciri-ciri itu?"

Tanda-tanda itu bisa dilihat pada paha bayi. Sedangkan pada orang yang sudah usia lansia, bisa dilihat pada pipinya. Bagaimana ciri pastinya, sayang Pak Tedy -- demikian saya memanggilnya -- belum bersedia menyebutkan secara detil.

Ia menyebut, Presiden RI kedua, Soeharto punya darah Tionghoa. Sama seperti Presiden RI keempat (1999 hingga 2001), Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur), yang dengan tegas mengaku nenek moyangnya berasal dari Tionghoa.

Coba simak peristiwa yang hingga kini masih terasa hangat saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat memberikan pidato pertama di hadapan warga Jakarta di Balai Kota, Senin (16/10). Kita ketahui Anies-Sandi resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Sebelumnya, saat Pilkada juga terjadi isu SARA yang demikian kuat. Usai Pilkada, mencuat isu "pribumi" yang diucapkan oleh Gubernur Anies Baswedan dalam pidato politik pertamanya usai dilantik menjadi "orang nomor satu DKI". Diam-diam ucapan itu masih jadi pembicaraan publik, tak hanya di Indonesia juga di negeri tetangga seperti Australia.

Padahal, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998, kata pribumi tak boleh digunakan oleh seluruh pejabat pemerintahan Indonesia. Sebutan pribumi itu kemudian menjadi salah satu topik bahasan di Monash University, Melbourne. Para akademisi di Australia, seperti dikutip dari Australiaplus, Jumat (20/10/2017) mengangkat hal itu sebagai topik dalam kuliah umum Herb Feith dengan tajuk "Warga China atau Tionghoa di Indonesia".

Gambaran singkat perjalanan Cheng Ho di Museum Cheng Ho, Jakarta. Foto | Dokpri.
Gambaran singkat perjalanan Cheng Ho di Museum Cheng Ho, Jakarta. Foto | Dokpri.
Museum Cheng Ho di kawasan TMII, Jakarta. Foto | Dokpri
Museum Cheng Ho di kawasan TMII, Jakarta. Foto | Dokpri
Jalur Sutra, jalur maritim penting 

Terlalu panjang diceritakan jika menelisik Islam dan etnis Tionghoa di Indonesia.

Singkatnya, jika melihat Jalur Sutra, teori dari negeri Tiongkok tak dapat luput begitu saja dikesampingkan. Teori tersebut menyatakan, perantau Tiongkok lah yang membawa Islam ke Indonesia. Para perantau ini telah mendapat pengaruh dari Arab. Sebagaimana disebutkan bahwa banyak permukiman Muslim yang bermunculan di negeri itu. 

Menurut Tan Ta Sen, sejarah Islam di Indonesia sangat berkaitan erat, bahkan berasal dari Champa. Berlokasi di Semenanjung Indocina, Champa merupakan salah satu wilayah taklukkan Cina sejak era Dinasti Tang. Di tengah pengaruh konfusian dan Hindu, Champa disinyalir mendapat pengaruh Islam dari pedagang Arab. Dugaan tersebut datang setelah ditemukannya dua batu nisan Muslim di wilayah Phan-rang, Champa selatan.

M Ikhsan Tanggo dkk dalam "Menghidupkan kembali Jalur Sutra Baru" menuturkan, agama Islam telah masuk Tiongkok sejak abad ketujuh melalui Jalur Sutra. Demikian pula, masuknya Tionghoa ke Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 Masehi dengan banyaknya bukti arkeologis. Dengan demikian, penyebaran Islam di Indonesia tak hanya dilakukan oleh orang-orang Arab dan Persia melalui Laut India, tapi juga dilakukan Muslimin dari daratan China.

Namun Alfianda menyebut, ada beberapa catatan penting perlu diketahui bahwa pada 1950, Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu, sejak 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera Selatan. Lalu ia bersama Kho Guan Tjin di Jakarta dan mengembangkan Persatuan Islam Tionghoa (PIT). Pada tahun 1953, mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan Muslim Tionghoa (PMT), di Jakarta.

Pada tahun 1954, kedua organisasi dakwah itu difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955. Lantas, pada awal 1972, Kejaksaan Agung RI - dengan alasan bahwa agama Islam adalah agama universal, - menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa atau Islam-Islam lainnya. Maka pada 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia, diperkirakan 15 persen di antaranya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, dan sebanyak lima persen dari 15 persen tersebut adalah Muslim.

Bung Karno dan cerita tentang wanita etnis Tionghoa. Foto | Dokpri.
Bung Karno dan cerita tentang wanita etnis Tionghoa. Foto | Dokpri.
Etnis Tionghoa sebagai ahli kunci tempo doeloe. Foto | Dokpri.
Etnis Tionghoa sebagai ahli kunci tempo doeloe. Foto | Dokpri.
Pertumbuhan Muslim Tionghoa di Indonesia semakin pesat, khususnya di Jakarta, Surabaya, dan Semarang, kata Wakil Ketua Bidang Kesra DPP Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Budijono, yang juga memiliki nama Nurul Fajar, di sela Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pimpinan Pusat dan Daerah Intern Agama Islam di Pontianak, Kalbar. 

Bapak Proklamator RI Soekarno sejatinya sudah merasakan bahwa isu pribumi, asli atau tidak dalam bernegara ke depan akan menjadi bahan pertentangan. Bahkan bisa "digoreng" dibenturkan sehingga dapat berpotensi mengancam integrasi bangsa.

Gambaran etnis Tionghoa sebagai pekerja pertambangan di Nusantara. Foto | Dokpri.
Gambaran etnis Tionghoa sebagai pekerja pertambangan di Nusantara. Foto | Dokpri.
Coba perhatikan pidato Bung Karno pada tanggal 14 Maret di Istora Senayan, antara lain mengatakan:

"Undang-Undang Dasar 45 itu resmi lahir pada tanggal 18 Agustus 1945, dicantumkan bahwa Presiden Indonesia harus orang Indonesia Asli....

Saya sendiri bertanya pada diri saya kadang-kadang. "He Soekarno, opo kowe iki (apa saya ini) benar-benar Asli? mboten sumerep" (tidak tahu) ya, saya dianggap Asli! tapi mungkin saja ada 10%, 5%, 2% darah Tionghoa di dalam darah saya ini..."

Ibu saya orang Bali, katanya orang Bali itu ada darah dari Majapahit. Majapahit itu ada darah dari Hindu keturunan Campa (Sekarang Vietnam, Birma, Laos dan sekitarnya).

Saya tidak mengadakan perbedaan antara Asli dan tidak Asli, Tidak...!!

Tatkala saya masih muda, pacaran dengan gadis Tionhoa, namanya Thiam Nio, She (Marga) nya tidak saya sebutkan, maklum waktu zaman Kolonial. Papanya tidak setuju. "Masa kawin dengan orang Jawa", orang tua saya juga berkata "Masa kawin dengan orang Tionhoa, keturunan Tionghhoa"... Ya tidak jadi kawin, he ... heh .."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun