Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru di Zaman "Old", Mendidik Bagai "Main Layangan"

25 November 2017   06:20 Diperbarui: 25 November 2017   16:01 2278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman semasa sekolah, kata sebagian orang, adalah saat paling membahagiakan. Tentu, bagi setiap individu, "warna" kenangannya itu berbeda-beda. Bisa jadi kenangan terasa indah ketika masih duduk di sekolah dasar, sekolah menengah pertama atau lanjutan. Bolah jadi pula kenangan terindah itu saat pacaran kala cinta monyet menerkam.

Mumpung menyambut hari guru, Sabtu, 25 November 2017, penulis mempunyai pengalaman sedikit unik tentang guru semasa duduk di sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Sebagai orang terlahir di zaman "old", tentu tidak salah atau belebihan jika pengalaman "kampungan" dituangkan dalam tulisan ini mengingat cara guru kala itu mengajar muridnya mungkin sudah tidak sesuai dengan kepatutan jika mengikuti etika zaman "now".

Guru juga manusia. Mereka punya kelemahan dan kekurangan. Murid apa lagi, sudah jelas perilakunya konyol dan menjengkelkan. Maka, tidak berlebihan ungkapan guru berdiri murid berlari. Murid mengikuti contoh dan perbuatan tidak baik yang dilakukan oleh gurunya. Peribahasa itu rasanya sudah kuno, tetapi jika dikaji dengan realitas yang ada, senyatanya tidak sepenuhnya demikian.

Bagaimana para guru mendidik anda pada zaman "old"?
Sejatinya guru di zaman "old" sudah berbuat optimal untuk meningkatkan kualitas anak didik sesuai dengan situasi saat itu. Ketersediaan buku, tenaga pengajar, dukungan ekonomi orang tua dan situasi lingkungan.

Sayangnya, jika diingat diri ini, murid paling konyol. Suka membuat onar dan gaduh di dalam kelas. Apa lagi kala guru berhalangan hadir, pulang sekolah dipercepat dan murid bisa memanfaatkan waktu keluyuran ke kediaman teman yang disukai. Di rumah teman, lalu memanjat pohon buah hingga baju koyak sampai di rumah dimarahi orang tua.

Main galasin, gangsing dan petak umpet saat masih di sekolah dasar adalah permainan yang paling disukai. Utamanya anak lelaki. Sedangkan bagi perempuan, main bola bekel. Itu pun membawanya sembunyi-sembunyi.

Tapi, dan ini yang menarik, soal disiplin baris-berbaris, upacara bendera, kehadiran di kelas tergolong kegiatan paling menyenangkan di luar kelas. Apa lagi ketika ikut antre pemberian susu dan makanan tambahan yang dibagikan di sekolah adalah saat-saat paling membahagiakan. Karena susu tak diberi gula, murid membawa gula dari rumah. Sayang, ketika di kelas, gula ditabur dan sudah tentu mengundang semut datang.

Ilustrasi, anak tengah bermain layangan di Monas. Guru dalam mengendalikan prilaku anak juga bagai bermain layanan. Foto | aktual.com
Ilustrasi, anak tengah bermain layangan di Monas. Guru dalam mengendalikan prilaku anak juga bagai bermain layanan. Foto | aktual.com
Penulis beruntung dapat menyelesaikan sekolah dasar yang rajin membagikan susu dengan cara antre. Maklum saat itu gizi anak sekolah dinilai rata-rata rendah. Karena itu, pemerintah berinisiatif memberi makanan tambahan agar otak anak murid cerdas.

Dulu tak ada ribut-ribut proyek pembagian susu dikorupsi. Orang tua pun tak mempermasalahkan kontribusi pemerintah bagi anak didik. Ribut-ribut sekolah jual seragam sekolah dan uangnya ditilep kepala sekolah, tidak terdengar. Berita buruk seperti itu baru mencuat pada era keterbukaan informasi. Bisa jadi berita minor terhadap pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang "tabu". Dapat memperburuk citra penguasa.

SD Baluel, salah satu sekolah negeri tertua dengan bangunan peninggalan kolonial Belanda di kawasan Pasar Enjo, Jakarta Timur, dulu tergolong "wah". Disiplin para gurunya sunggu kelewat banget. Seragam putih hijau. Tidak pakai sepatu sudah pasti kena hukuman. Menghadapi kenyataan itu, orang tua murid mengajari anaknya harus pandai menyembunyikan sepatu di tas sekolahnya masing-masing tatkala hujan.

Kenapa?

Murid memilih tidak mengenakan sepatu, karena jika dipakai akan basah dan cepat rusak. Saat itu, jalan beraspal masih langka. Untuk memiliki sepatu saat itu, untuk sebagian orang tua, tergolong susah dan mahal. Saat itu, bukan berarti sang guru tidak tahu. Tapi pura-pura tak tahu kesulitan yang dihadapi orang tua murid. Ketahuan murid datang ke sekolah "nyeker ayam" atau pakai sandal sudah pasti orang tua ditegur. Sanksi, sudah pasti disiapkan.

Saya tak dapat membayangkan. Jika sekolah di Jakarta saat itu untuk sekolah bersepatu saja sulit, bagaimana dengan sejumlah sekolah di luar Jakarta dan Pulau Jawa.

Membawa sapu ijuk adalah kewajiban bagi setiap murid. Bergantian. Jika murid dapat giliran, mereka membawa sapu. Karena merepotkan, murid gotong royong mengumpulkan uang untuk membeli sapu. Lantas, sapu disimpan di balik pintu sekolah.

Saya masih ingat sekali, setiap murid diwajiban membawa batu bata merah dari rumah. Dalam waktu singkat, batu bata merah terkumpul dalam jumlah banyak. Dalam waktu cepat, tidak sampai setahun, rumah ibadah berupa mushola sudah berdiri.

Lantaran tidak mengerjakan tugas, pekerjaan rumah, guru marah. Murid disetrap berdiri di muka kelas. Kendati nama-nama guru yang berpegang disiplin itu masih diingat, saya tak kuat menyebutnya. Saya sangat menyayanginya.

Kalau saja para murid berlaku sopan tentu guru tidak akan murka. Pasalnya, sudah mulai tumbuh murid tawuran antarsekolah. Biasanya berawal pada hal sepele, dari soal mata melotot ke arah murid anak sekolah seberang, lantas disusul saling ngotot dan menantang.

Sebagai hukuman, kepala sekolah memberikan sanksi berat. Teman saya yang memiliki badan besar, tegap dan kuat jadi sasaran kemarahan kepala sekolah. Di muka kelas, mereka diminta berbaris. Lalu, tangannya ditetesi cairan panas lilin yang menyala. Ada teman lainnya yang ikut tawuran terkencing di celana sebelum ditetesi cairan panas lilin. Ia pun dikenai hukuman tambahan, mengepel.

Tak kalah indahnya kala menjalani sekolah lanjutan pertama di kawasan Jatinegara, tepatnya saat itu disamping kantor Wali Kota Jakarta Timur. Karena selalu mendapat jabatan ketua kelas dan kadang ditugasi sebagai komandan upacara, namanya terasa "beken".

Namun ketenaran itu kalah dengan teman-teman lain yang kadang ke sekolah bawa bom sebesar kepalan tangan. Juga ada di antara teman rada "kelotokan" membela teman kala diganggu dari geng sekolah lain. Tawuran sering terjadi, tetapi cepat diselesaikan oleh kepala sekolah.

Terasa jagoan?

Ini yang harus dihindari. Sebab, ketika duduk di sekolah lanjutan atas, penulis yang masih sekolah pada zaman "old" itu, sekitar tahun 77-an, terasa diri menjadi orang paling jago berkelahi. Sebab, rekan-rekan lainnya lebih banyak sebagai "kutu" buku, pandai tetapi tak punya nyali ketika diganggu dari anak-anak sekolah luar.

Maklum, sekolah di kawasan Kampung Melayu, hingga kini muridnya kebanyakan etnis Tionghoa. Saya adalah satu dari tiga anak berwarna kulit sawo matang yang bersekolah di situ. Untuk menakut-nakuti pengganggu sekolah, lalu pihak sekolah banyak melibatkan saya untuk urusan keamanan sekolah.

Wah, kaya' jagoan deh. Padahal, kalau main kroyokan takut juga, sih.

Untungnya, mata saya rada sipit. Bola jadi, karena itu, saya mudah bergaul dengan siapa pun. Sedikit terasa asing sekolah di situ. Sebab, para gurunya tampilannya mentereng. Kalau mengajar, rapi dan necis mengenakan dasi seperti para direktur di kantoran. Memanggil guru tak seperti kebiasaan di sekolah lain, tetapi diubah dengan sebutan "lause".

Karena murid sekolah di sini kebanyakan memeluk agama Buddha, maka pemeluk agama lain disediakan guru tersendiri. Islam punya guru dan mengajarnya secara terpisah. Pemeluk agama Kristen dan lainnya juga demikian, disiapkan guru agama oleh pihak sekolah.

Di zaman "old", pandangan penulis, para guru dalam mengendalikan murid seperti bermain layang-layang. Ada kalanya ketika angin tengah kencang, situasi sekolah terlihat tidak kondusif, kepala sekolah dan para guru merapatkan barisan. Mereka mendekatkan diri dengan murid meski diwarnai tindakan rada keras tanpa harus menimbulkan persoalan dan ketegangan dengan orang tua murid.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun