Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesan untuk Pelaut Muda

17 November 2017   05:35 Diperbarui: 19 November 2017   00:50 5175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Identitas Andi Amin. Foto | Dokpri

Pesan untuk pelaut muda. Jangan boros. Harus pandai menyimpan uang. Jauhkan dunia "glamor", apa lagi dugem atau dunia gemerlap diisi kegiatan foya-foya.

Itulah sepotong kalimat awal yang ditangkap penulis ketika ikut barisan antrean berobat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong, Jawa Barat, Kamis pagi (16/11/2017) dengan seorang palaut asal Palopo, Sulawesi Selatan, Andi Amin.

Ia tampak sedikit emosional tatkala disebut pelaut dari Bugis diberi stigma sebagai perompak.  Stigma itu mencuat di negeri jiran Malaysia setelah mantan perdana menteri gaek Mahathir Mohamad -- di hadapan ribuan orang pendukunnya -- menyebut pelaut dari Bugis adalah perompak.

Dirinya berasal dari Sulawesi Selatan, kebanyakan berdarah pelaut. Dan di Indonesia juga banyak etnis lainnya yang berprofesi dan mencintai pekerjaan sebagai pelaut. Sebagai anak bangsa, ia mengaku tersinggung. Namun diingatkan agar para pelaut Indonesia tak terpancing, apa lagi terprovokasi dengan pernyataan itu. Serahkan kepada pihak berwenang untuk menyelesaikannya.

Andi Amin sudah 30 tahun malang-melintang sebagai pelaut. Khususnya bekerja di kapal pesiar milik beberapa negara dari Eropa. Kini ia sudah purnatugas, usianya sudah 70 tahun. Namun sorot matanya masih tajam, bicaranya lancar bersemangat. Fisiknya masih gagah. Ia mengaku menguasai tiga bahasa asing: Inggeris, Belanda dan Portugal.

Menggunakan bahasa asing itu sama seperti orang berjalan di padang ilalang. Jika jalan tertutup tumbuhan pohon ilalang, maka jejak jalan akan hilang. Artinya, kalau bahasa itu jarang digunakan tentu akan tertutup dengan sendirinya. Sebab, seperti jalan dengan penuh ilalang tadi, penggunanya akan kehilangan kompas atau arah.

Penasaran dengan pengalaman Andi Amin ini, penulis lantas membujuk dirinya untuk bercerita tentang dunia kalautan. "Bukankah Indonesia sekarang ditetapkan sebagai poros martim dunia?"

Andi Amin (bertopi) bersama rekan. Foto | Dokpri
Andi Amin (bertopi) bersama rekan. Foto | Dokpri
Mendengar kalimat itu, ia menatap penulis. Ia kemudian mengajak duduk di kursi rumah sakit setelah mendapat nomor antrean berobat di poliklinik yang ditentukan. Ia mengaku ke rumah sakit bukan untuk berobat, tetapi mengantar isterinya.

Andi nampaknya paham betul apa maksud dari kata poros maritime yang dimaknai sebagai sebuah upaya strategis guna menjamin konektifitas antarpulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim.

"Gagasan tol laut dari pemerintah, sungguh, sangat baik," Amin menjelaskan.

Apa lagi jiwa pelaut Indonesia. Di mata orang Eropah, dikenal rajin. Cerdas dan kerja teliti, penuh perhitungan. Banyak yang disayang. Lagi pula ramah terhadap warga asing dan mudah bergaul.

Namun ketika ditanya seputar pelaut sering "main" perempuan, ia menyebut, itu tidak semua. Sebab, banyak di antara pelaut Indonesia justru lebih fokus pada pekerjaan yang digeluti. Terlebih ada kesadaran bahwa untuk menjadi pelaut tidak mudah, harus pandai dan ilmunya selalu di-update untuk periode yang teratur.

Kalaupun ada pelaut Indonesia sering doyan perempuan kala turun ke darat, itu tak banyak. "Paling banter 50 persen. Biasanya orang itu punya kebiasaan suka minuman keras, mabuk," katanya sambil melempar senyum.

Ia pribadi mengaku bersyukur, tidak tersentuh: minuman keras, perempuan, tidak ngopi apalagi memboroskan uang untuk kegiatan yang tidak penting.

Identitas Andi Amin. Foto | Dokpri
Identitas Andi Amin. Foto | Dokpri
Ia pernah bekerja tidak hanya di kapal pesiar Holland. Tapi juga bekerja di beberapa kapal pesiar negara-negara di Eropa. Kalau kebanyakan pelaut Indonesia punya satu atau dua buku pelaut, Andi punya lima buku pelaut dari lima negara Eropa. Ia juga pernah bekerja di salah satu perusahaan kargo kapal asing di Eropah.

Suka dan dukanya menjadi pelaut memang luar biasa. Dalam setahun, bisa bekerja delapan bulan hingga setahun. Di darat setahun istirahat. Ketika berada di darat, rasa cepat bosan. Sebab, tidak lihat laut. Ketika di atas kapal, rindu dengan anggota keluarga.

Andi Amin asal Palopo, Sulawesi Selatan ini sudah punya anak tiga. Satu di antaranya punya bakat jadi pelaut dan kini tengah merintis karir di bidang kelautan. Ia berharap puteranya dapat terus meningkatkan kemahirannya.

***

Bercerita tentang pekerjaan di laut, dirinya termasuk lelaki yang tidak ganteng. Tapi tatkala mengenakan pakaian seragam sebagai pelaut, banyak wanita mengejar-ngejarnya. Terutama para wanita penumpang kapal yang berasal dari berbagai negara.

"Wajah saya tak seberapa ganteng. Pas-pasan. Tapi, wanita yang mengejar banyak," ia membuka ikhwal pengalamannya dikejar penumpang wanita asal Amerika.

Ada janda. Suaminya berpangkat kolonel wafat di medan pertempuran kala perang Vietnam. Janda itu memaksa dirinya untuk mengawini dengan segera. Ia merayu dengan berbagai cara. Salah satunya, menunjukkan jumlah tabungan dan harta yang dimiliki.

"Jika anda mau, hari ini juga saya akan urus kepindahan ke Amerika," ia bercerita tentang rayuan perempuan asal Amerika itu setengah memaksa.

Dengan kalimat sederhana dan diupayakan tidak menyakitinya, Andi Amin lalu menceritakan bahwa dirinya sudah berkeluarga. Disebut, tak ingin di dalam lingkungan keluarga ada wanita lain yang tersakiti. Menikah dan meninggalkan orang yang sudah diikat secara resmi sungguh akan membuat perjalanan hidup ke depan akan menciptakan persoalan baru.

"Dimurkai Tuhan, ya sudah pasti," ia menjelaskan kepada wanita yang oleh rekan-rekannya tergolong janda cantik.

Andi Amin ikut antre bersama pasien. Foto | Dokpri.
Andi Amin ikut antre bersama pasien. Foto | Dokpri.
Kisah lain tak kalah menarik dari pekerja sebagai petugas di deck departement kapal pesiar Holland adalah tingkah para pelajar dari Amerika yang ikut pesiar ke berbagai negara.

"Saya tak punya pengalaman mengisap ganja, tetapi bisa mencium aroma ganja," Amin melanjutkan ceritanya.

Ganja dan rokok keretek itu dapat dibedakan meskipun ia tak pernah merokok dan ngopi di warung pojok jalan di Tanah Air. Ganja yang sudah dikemas dalam bentuk rokok kemudian dihisap, asapnya akan mengepul dan mengeluarkan bau khas. Rasanya lebih menyengat di hidung.

Sedangkan rokok keretek yang biasa dihisap para pekerja bangunan, misalnya, aroma atau bau kretek itu tidak sekuat ganja. Nah, dari pengalaman itu ia bisa menerka di setiap kamar, apakah penghuninya menghisap, menggunakan ganja atau tidak.

Andi pernah menjumpai di kapal Holland. Jika saja di pintu kamar penumpang tak tertutup rapat, sedikit diganjal handuk, sudah dapat menerka bahwa penghuninya mengonsumsi ganja. Tapi indikasi itu masih harus ditindaklanjuti. Ia dengan berpakaian lengkap, lalu memeriksa kamar bersangkutan.

Tatkala pintu juga tak dibuka setelah diketuk, Andi lalu mengambil kunci master. Saat itulah terdengar penghuni kamar sibuk, grasak-grusuk. Ia menduga, penghuninya tengah menyembunyikan barang terlarang. Lantas, setelah ia masuk, biasanya jika pemakai ganja itu seorang wanita, akan menyergap dan memeluknya. Sambil memeluknya, wanita tadi meminta maaf telah menghisap ganja.

Bila pelakunya seorang lelaki, biasanya hanya pasrah dengan didahului kata-kata permintaan maaf telah menngonsumsi ganja.

Bagi Andi Amin, semua apa yang terjadi di kamar dan identitas pelaku yang sudah diketahui segera dilaporkan kepada kapten. Namun kapten biasanya menyarankan agar peristiwa itu tidak dilaporkan kepada pihak berwajib. Alasan yang sering diangkat adalah, jika peristiwa itu dilaporkan kepada polisi maka akan berakibat buruk bagi perusahaan kapal pesiar bersangkutan.

"Apa akibat buruk yang kapten maksud? Andi bertanya yang kemudian dijawab sendiri.

Katanya: "Jika dilaporkan kepada pihak berwajib, kapal tidak akan laris. Para wisatawan tak mau ikut kapal kita lagi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun