Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka. Ketika naskah proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore datanglah Ahmad Subardjo yang kemudian membawa Bung Karno cs berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw adalah anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ketika merumuskan UUD 1945.
Drs Yap Tjwan Bing adalah seorang sarjana Farmasi dan apoteker yang juga dosen dan anggota Dewan Kurator ITB Bandung. Tahun 1945 beliau terpilih menjadi salah satu anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan PNI. Namanya diabadikan menjadi salah satu ruas jalan di kota Surakarta menggantikan Jalan Jagalan yang diresmikan oleh Walikota Surakarta H. Ir Joko Widodo pada tanggal 22 Februari 2008.
Setelah Jepang takluk beliau menghilang dari Jakarta dan menetap di Solo memimpin Barisan Pemberontak Tionghoa. Ketika Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya dibuang ke Pulau Bangka, beliaulah yang menyediakan seluruh keperluan para pemimpin tersebut. Pada era 1950an beliau diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia dan pengurus PSSI. Pada 1952 masuk menjadi anggota PNI dan sejak Agustus 1954 sampai Maret 1956 diangkat menjadi anggota DPR mewakili PNI lalu duduk di Kabinet Interim Demokrasi, dan pada tahun 1955 berada dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman, pertama kali dipublikasikan oleh Koran Tionghoa Sin Po. Lie Eng Hok adalah seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia. Beliau salah satu tokoh penting di balik pemberontakan 1926 Banten. Dalam peristiwa itu masa bergerak melakukan perusakan jalan, jembatan, rel kereta api, instalasi listrik, air minum, rumah-rumah, dan kantor milik Pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Semasa muda Lie aktif sebagai wartawan Surat Kabar Sin Po dan berkawan akrab dengan Wage Rudolf Supratman, dari sahabatnya inilah beliau belajar banyak tentang cita-cita kebangsaan. Lie Eng Hok berperan sebagai kurir kaum pergerakan, lantas beliau ditahan Pemerintah Kolonial Belanda dan dibuang ke Boven Digoel (Tanah Merah), Papua, selama lima tahun (1927-1932).
Selama di Boven Digoel Lie menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan lebih memilih membuka kios tambal sepatu untuk memenuhi biaya hidupnya. Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara Indonesia, Lie Eng Hok diangkat sebagai Perintis Kemerdekaan RI berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol. 111 PK tertanggal 22 Januari 1959. Lie meninggal pada 27 Desember 1961 dan dimakamkan di pemakaman umum di Semarang. Dua puluh lima tahun kemudian, kerangka Lie Eng Hok baru dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang, melalui Surat Pangdam IV Diponegoro No.B/678/X/1986.
Siauw Giok Tjhan adalah menteri negara Urusan Minoritas dalam Kabinet Amir Syarifudin. Pada 1958 beliau mendirikan Universitas Trisakti dengan dibantu sejumlah petinggi Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Awalnya bernama Universitas Res Publika, oleh Orde Baru diganti menjadi Tri Sakti.
Menurut Siauw Giok Tjhan, kecintaaan seseorang terhadap Indonesia tidak bisa diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang dipertahankannya, melainkan dari perilaku dan kesungguhannya dalam berbakti untuk Indonesia.
Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang kemudian secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya ataupun agamanya. Dapat menjalankan kawin campur (asimilasi) dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.