Pada tahun 1980-an hingga awal 2000, jagat pers di Tanah Air banyak diwarnai kehebatan tokoh jurnalis seperti Rosihan Anwar, BM Diah dan Muchtar Lubis dalam melancarkan kritik kepada pemerintah. Dan, bagi para mahasiswa yang menggeluti ilmu komunikasi atau publisistik pada masa itu terasa tidak sempurna jika tidak membaca karya mereka.
Tokoh pers saat itu seolah menjadi sumber inspirasi bagaimana cara terbaik dalam menyampaikan kritik. Kritik yang membangun adalah sebuah istilah yang sering diperdengarkan. Juga sebutan kritik konstruktif kepada penguasa dengan embel-embel memberi solusi. Hakikatnya, kritik adalah ya kritik lantaran adanya ketidakpuasan terhadap suatu persoalan di tengah masyarakat. Persoalan itulah yang dievaluasi, dianalisis dan disampaikan dalam bentuk opini kepada khalayak luas.
Dia pernah disekap Belanda di Bukit Duri, Batavia (Jakarta), pada zaman Bung Karno koran yang dipimpinnya "Siasat" ditutup pada tahun 1961. Selanjutnya di masa Orde Baru, korannya "Pedoman" juga ditutup pada tahun 1974, kurang dari setahun setelah Rosihan Anwar mendapat Bintang Mahaputra III bersama Jakoeb Utama.
Jejak Rosihan Anwar hingga kini masih dapat dilihat. Demikian pula tokoh pers Jakoeb Utama masih terus memberikan kontribusinya untuk kemajuan negeri tercinta melalui profesinya. Jejak wartawan senior seperti ini sepatutnya dapat dijadikan motivasi bagi generasi millennial saat ini.
Lalu, bagaimana pula dengan wartawan lainnya sebelum era Rosihan Anwar itu?
Sudah lama jurnalis itu disebut-sebut sebagai pelaku dan pencatat sejarah. Ya, seperti halnya Rosihan Anwar itu yang terus menerus aktif menyumbangkan gagasan-gagasan kritis hingga akhir hayat.
Dan, jauh sebelum masa Rosihan Anwar, tercatat ada beberapa tokoh pers yang terlibat langsung dan memberi kontribusi pada Kongres Pemuda II 1928, yang selanjutnya menghasilkan Sumpah Pemuda dan dikenal hingga sekarang.
Mereka adalah Mr RM Soemanang Soeriowinoto. Ia adalah salah satu pendiri, peserta Kongres Pemuda II 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Lalu, Soegondo Djojopuspito, direktur Kantor Berita Antara pada 1941, adalah ketua kongres itu.
Sedangkan Amir Sjarifuddin, wartawan dan konsultan hukum Antara pada masa awal, adalah bendahara Kongres Pemuda itu.
Kontribusi wartawan saat itu untuk Bahasa Indonesia juga ada. Seperti Pane bersaudara (Sanusi dan Armijn), adalah sastrawan angkatan Pujangga Baru, pejuang bahasa Indonesia pada masa awal.
Sedangkan Mochtar Lubis, wartawan, adalah budayawan pengembang bahasa Indonesia pada masa awal. Termasuk pula Pramoedya Ananta Toer, penyunting di perpustakaan, menghasilkan kata "tentara" dan "Eropa" (sebelumnya "tentera" dan "Eropah").