Menurut catatan sejarah, kemudian Kantor Berita Antara dalam pemberitaannya memakai  kata "pekas" (kini kasir), "pemimpin pelaksana redaksi" (bukan redaktur pelaksana, karena semua redaktur adalah pelaksana), "pewarta kepala" (bukan kepala pewarta, karena semua pewarta punya kepala).
Sedangkan warawan Mohamad Basri memperkenalkan "pumpunan" untuk "news feature". Pada generasi wartawan berikutnya, seperti Andi Baso Mappatoto menyarankan "karangan khas" untuk "feature". Pada 1970-1980-an, Kantor Berita Antara dalam pemberitaannya memperkenalkan singkatan "rudal" untuk peluru kendali.
Sekarang, kantor berita itu mengikuti arus dengan mengembalikan kata ke bahasa asalnya dengan warna "melayu". "kesaksian" jadi "testimoni", "tujuan" (destinasi) dan "meletus" (erupsi).
Sekadar melihat ke belakang, bagi kalangan jurnalis yang pernah belajar di Perguruan Tinggi Publisistik (STP) Jakarta, pasti akan teringat betapa sulitnya mempelajari Bahasa Indonesia Jurnalistik. Dalam satu kelas ( 40 -- 50 mahasiswa), yang lulus hanya 10 persen. Dengan berat hati, mahasiswa harus mengulang dan ikut ujian kembali sampai lulus.
Dosen 'killer' untuk matakuliah itu adalah Rasgading Siregar. Atau biasa dipanggil akrab dengan Ras Gading yang berprofesi sebagai kolumnis olahraga Bridge (di Harian Kompas), pengarang cerpen dan novel. Berkat jasa Ras Gading itu pulalah banyak wartawan senior kini merasa bersyukur tentang pentingnya berdisiplin dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Sekedar catatan, STP didirikan Parada Harahap, Â yang menurut Wikipedia dijuluki sebagai "King of the Java Press". Para "dedengkot pers" saat itu demikian keras mendidik para calon wartawan karena memang medannya penuh dengan tantangan, bresiko. Dan, bahasa Indonesia adalah alat komunikasi terpenting dalam profesi ini.
Kini memang perlu membangkitkan kesadaran pentingnya penggunaan bahasa Indonesia di kalangan media massa. Bahasa Indonesia tidak boleh sekadar komunikatif, tetapi juga harus membangkitkan semangat kebangsaan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Memang, seyogyanya, bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca yang telah diatur oleh pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H