Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Kompasiana, Keangkuhan Intelektual Kabur

28 Oktober 2017   21:21 Diperbarui: 2 November 2017   09:58 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Brak," suara keyboard komputer demikian keras aku gebrak.

Belum merasa puas, mouse-nya pun ikut menjadi kurban, aku banting ke atas meja kerja.

Rusak. Meja kerja ikut jadi kurban. Kotor dan berantakan. Beruntung, monitor komputer tidak kena tinju meski tangan kanan sudah mengepal keras.

Beberapa saat kemudian, muncul rasa nyesal, tapi ya sudah terjadi. Menyesal memang tak pernah datang awal, selalu setelah peristiwa pahit terlampaui dengan kerugian menghadang di hadapan. Beruntung, saat itu, tak ada anak isteri menyaksikan kelakuan buruk itu.

Setelah peristiwa itu, aku tak pernah lagi membuka laman yang namanya kompasiana. Kecewa berat. Berat sekali kecewanya. Apa pasalnya, sih?

Sederhana. Ketika membuka akun tak pernah masuk. Praktis tak lagi bisa membuat artikel. Padahal, saat itu, ada peristiwa menarik yang rasanya bisa dituangkan untuk diketahui publik secara luas melalui kompasiana.

Tak ingat peristwa apa itu, tapi sudah menjadi kebiasaan, kala menjumpai peristiwa menarik secepatnya ditulis dan dipublikasikan. Ini prinsip kerja seorang pekerja kuli tinta, kuli disket, kuli dan entah apa lagi kuli. Ada yang menyebut sebagai profesi ratu dunia, pilar kekuatan keempat dalam dunia demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Entah lah, pokoknya banyak sebutan untuk si kuli bermuka jelek dan pemarah ini.

Sebetulnya rada malu mengungkap prihal ini kepada khalayak luas. Namun setelah membaca para penulis Kompasiana menuangkan pengalaman dan memberi kesan-kesannya, saya pun tertarik ikut-ikutan. Urat malu putus dan muncul keberanian untuk mengungkapkan pengalaman itu. Harapannya, pengalaman yang diungkap ini dapat memperkaya wawasan bagi para pembacanya.

Saya memperkirakan tiga bulan tak aktif menulis di Kompasiana setelah memiliki akun pada akhir April 2016. Itu pun yang membuatkan seorang teman, karena saya ditantang untuk mengeritik kementerian tempatnya bekerja. Maklum, gatek -- gagap teknologi -- meski di kantor bekerja lebih banyak bersentuhan dengan komputer.

Followers atau pengikutnya pun dikit. Malu saya nyebutnya di sini, apa lagi jumlah artikel termuat hanya 230. Sebetulnya, lebih banyak dari itu. Tapi, yaitu, ditolak karena tak memenuhi syarat seperti yang ditentukan admin Kompasiana.

Baru bisa membuka akun yang saya miliki di Kompasiana setelah coba-coba membuka komputer milik isteri di ruang kerjanya. Loh, kok bisa dibuka. Setelah itu, ya melaju lagi menulis di Kompasiana dengan terus menerus belajar menulis seperti teman-teman lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun