Bolehkah Singkawang Jadi Kota Wisata Halal?
Ya, boleh saja. Sebab, Singkawang punya hak yang sama dengan warga lainnya di bumi nusantara ini untuk mengembangkan wilayahnya menjadi kota wisata halal (halal tourism) menurut ketentuan syariat Islam.
Bukankah warganya kebanyakan etnis Tionghoa? Masa kota "amoy" dijadikan destinasi wisata halal? Nggak logis kah? Tunggu, tenang, jangan emosi. Lagi pula ini bukan soal SARA.
Asal usul etnis dan agama bukan penghalang untuk mengembangkan wisata halal. Tidak ada ketentuan dalam perundang-undangan bahwa yang paling berhak mengembangkan wisata halal adalah etnis tertentu dan harus beragama Islam.
Undang-Undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 tahun 2005 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH) disetujui rapat paripurna DPR pada 25 September 2014. Diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 17 Oktober 2014.
Dalam UU JPH yang terdiri atas 68 pasal ini ditegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
UU itu juga menyatakan pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan jaminan produk halal (JPH). Baca juga  Negara Hadir Perkuat Sertifikasi Halal.
Maka, jelas sudah. Tidak satu pun pasal yang menyebut bahwa untuk wisata halal ditentukan penduduknya harus muslim seluruhnya. Engga ada itu.
Karena itu, warga Singkawang punya hak menjadikan kota itu sebagai destinasi wisata halal. Bukankan HalalituBaik. Thailand saja, di kawasan Asean tergolong nomor wahid untuk urusan halal, sekalipun warganya penganut Buddha.
Hingga kini, memang, Kementerian Pariwisata belum banyak menggembar-gemborkan tentang wisata halal. Mungkin wisata religi, iya.