Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diskusi Sertifikasi Halal, Citizen Media Ikut Sebarkan Pemahaman Produk Halal

7 Oktober 2017   09:48 Diperbarui: 7 Oktober 2017   09:56 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Sungguh menggembirakan diskuisi Sertifikasi Produk Halal, Jaminan Hidup Aman dan Nyaman untuk Seluruh Umat, Jumat (6/10/2017), Tjikinii Lima, Jl. Cikini 1 No.5, Cikini, Kota Jakarta Pusat, kemarin mendapat perhatian dari para kompasianer, ditandai dengan banyaknya jurnalis warga (citizen media) itu mengajukan pertanyaan tajam kepada para pembicara.

Pada acara Kompasiana Nangkring ini panitia menghadirkan pembicara Prof. Sukoso, Kepala Badan Penyelengara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama (Kemenag) Dr. HM. Asrorun Niam Sholeh, MA., Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Rangga Umara, Owner Pecel Lele Lela.

Pejabat Kementerian Agama (Kemenag) seperti Kepala Biro Humas, Data dan Informasi, Mastuki dan Kepala Bagian Humas Kemenag Rosidin dan Staf Khusus Menag Hadi Rahman nampak memantau jalannya acara. Sesekali mereka serius memperhatikan pertanyaan yang dilontrkan peserta diskusi karena suaranya menyentak, bernada tinggi dan kritis.

Penyelenggaraan diskusi molor dari jadwal yang ditetapkan, seharusnya sudah berlangsung Pukul 14.30 WIB. Nyatanya, baru berjalan setelah ba'da Azar sehingga waktu diskusi tak optimal. Sambil menunggu pelaksanaan tiba, sebagai 'muka baru', penulis memanfaatkan waktu luang dengan berkenalan dengan sesama kompasianer.

Saya bersyukur, teman-teman ramah. Tua, muda dari berbagai latarbelakang semuanya memiliki semangat muda. Semangat menuangkan gagasan. Hadir di forum itu pun dilakukan dengan ikhlas. Tentu.

Dan terkait dengan badan halal itu, pandangan penulis, membahas BPJPH tak cukup dua hingga tiga jam. Sebab, perjalanan lembaga baru di bawah Kemenag itu sungguh "melelahkan", diwarnai tarik ulur soal siapa punya wewenang: domin Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Kemenag sebagai pemegang otoritas pengatur agama-agama di Indonesia?

Ingat, Menteri Agama - sejak lahirnya republik ini - bukan milik satu agama saja. Islam, misalnya. Menag adalah menteri agama bagi agama-agama lain. Ya, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu. Masih ada lagi agama Sunda Wiwitan pun menjadi bagian yang harus dilindungi hak-haknya. Semua itu menjadi tugas menag dan jajarannya.

Disisi lain, MUI sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) menyatakan jauh punya hak mengatur soal halal dan haram di Tanah Air ketimbang Kemenag. Karena posisinya secara institusi sebagai Ormas, maka Ormas Islam (Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Ormas lainnya) pun saat itu mengklaim punya hak serupa mengatur halal.

Soal historis kelahiran BPJPH tak banyak disinggung dalam diskusi itu. Mungkin jika dibahas, jelas, sampai larut malam tak bakal selesai.

***

Pada tulisan ini penulis hanya menuangkan sepenggal pengalaman untuk berbagai dengan kompasianer seputar lahirnya BPJPH. Sebab, para pembicara pada acara tersebut lebih fokus pada tugas dan fungsi badan tersebut ke depan. Kalaupun ada yang menanyakan hal tersebut, jawabannya terasa masih perlu didukung waktu lebih lama lagi. Semua, rekan kompasianer tentu memahami hal ini.

Sebagian dari tulisan ini pernah dimuat di kompasiana pada Juni 2016, saat awal belajar menjadi penulis dengan rekan-rekan kompasianer. Karena sebagai pemula, tulisan itu tak banyak ditengok. Apalagi dibaca sampai tuntas.

Pada akhir  jabatannya sebagai Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni bersama Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar (kini Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta), Kakanwil Kemenag Jateng Imam Haromain Asy'ari, bersama penulis mendatangi kediaman Dr. (HC). KH. Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh di Pondok Pesantren (Ponpes) Maslakul Huda di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.

Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah pimpinan ponpes yang didirikan ayahnya, (KH Mahfudh Salam, pada 1910), sejak 1963. Kiai Sahal Mahfudh, begitu ia biasa dipanggil, juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 2000 hingga 2014.  Selama dua periode menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak 1999 hingga 2014. Ia lahir pada 17 Desember 1937 dan wafat pada Jumat 24 Januari 2014.

Kunjungan Maftuh, yang sejatinya masih punya pertalian erat sebagai keluarga besar ulama tersebut, selain posisinya sebagai menteri agama yang memberi perhatian kepada kehidupan ponpes juga untuk bersilaturahim. Terpenting, mendiskusikan produk jaminan halal.

Soal jaminan produk halal, saat itu, menjadi pembahasan "hangat" di badan legislatif. Maftuh ingin RUU tentang produk halal segera dapat disahkan sebelum lengser dari jabatannya sebagai menteri agama bersamaan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (Jilid I) pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Awalnya pertemuan berlangsung santai. Tapi, ketika memasuki pembahasan soal produk halal, pembicaraan terlihat serius. Saya sempat bengong menyaksikan pembicaran "penggede" itu. Bukan karena argumentasi yang diangkat dan disampaikan dengan nada keras, tetapi lebih pada kesungguhan agar persoalan produk halal tersebut sesegera mungkin selesai.

Jika ditengok ke belakang, memang perdebatan mengenai produk jaminan halal makan waktu sekitar delapan tahun, sejak Kabinet Indonesia Bersatu jilid II berakhir hingga Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.

Utgamanya berkaitan kewenangan, MUI kah? Atau pemerintah (Kemenag). Umat dibuat bingung. MUI meminta DPR agar sertifikat jaminan produk halal hendaknya dikeluarkan oleh satu lembaga saja untuk mencegah agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat bila ada perbedaan pendapat. Alasan yang mengemuka, MUI terbukti teruji selama 24 tahun. Terlebih standar halal yang dikelurkan MUI sudah diakui secara internasional.

Pemerintah, saat itu, diminta tak perlu ikut campur dalam penentuan sertifikasi halal.

Argumentasi pemerintah saat itu adalah pemerintah tak mengambil peran MUI, apa lagi memperkecil lembaga ulama ini karena sudah memiliki domain atau wilayah masing-masing terkait dalam penyusunan jaminan produk halal (JPH).

MUI paling tahu urusan syariah. Itu domin para ulama.  Pemerintah tak ikut campur dalam urusan itu. Namun pemerintah pun harus memberikan peran karena di dalamnya terkait dengan hukum positif yang menjadi domain pemerintah. Jadi, ada kapling masing-masing.

***

Muncul kesulitan pada pembahasan BPJPH. Dimanakah menempatkan MUI dalam UU JPH. Sebab, saat itu, ada sebagian anggota Panja DPR yang menghendaki agar MUI memiliki pengaruh yang tetap sebagaimana peran MUI saat itu, namun sebagian lagi menghendaki agar peran tersebut tidak sedominan sekarang.

Harus diakui bahwa MUI memperoleh kewenangan dari pemerintah untuk menjadi lembaga yang melakukan sertifikasi produk halal. Peran ini sudah dilakukannya sejak 2008. Tak heran, kemudian, MUI  menjadi lembaga persertifikatan halal yang "powerfull" baik untuk produk dalam maupun luar negeri.

Sampai akhirnya kemudian muncullah beberapa permasalahan yang menghinggapi program sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI. Lalu muncul upaya dorongan mengurangi peran MUI itu dan kembali ditemui momentumnya.

Sikap keras diperlihatkan MUI bahwa pelaksanaan sertifikasi halal tetap menjadi haknya, mulai dari pendaftaran sampai ke luarnya sertifikasi produk halal. MUI berperinsip "khudz kullahu atau utruk kullahu", atau ambil semua atau tinggalkan semua. Wah, ngeri betul kalau ingat ini.

Singkat cerita, akhirnya ada kesadaran bahwa melibatkan MUI dalam proses sertifikasi halal adalah sebuah keharusan berdasarkan sejarah dan pengalaman. Artinya, MUI memang harus terlibat di dalam proses sertifikasi. Tetapi ada perbedaan pendapat apakah seluruhnya atau sebagian saja. Jika seluruhnya tentu akan menemui kendala sebab Badan Nasional Pemeriksa Produk Halal (BNP2H) adalah Lembaga Negara yang akan memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan produk halal. Jadi, artinya adalah lembaga inilah yang nantinya akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk melakukan pemeriksaan produk halal.

Posisi MUI di dalam penjaminan produk halal adalah yang disertakan oleh BNP2H yang tentu saja memiliki otoritas yang dianggap relevan dengan tugas dan fungsi keulamaannya. Jadi, ada kewenangan yang nantinya akan melekat kepada MUI sebagai kewenangan yang diberikan oleh BNP2H dalam proses pemeriksaan halal.

Akhirnya semua pihak harus merasa bersyukur bahwa kompromi politik ini bisa dilalui dalam proses persidangan antara Panja Pemerintah dan DPR. Maka, dirumuskan bahwa BNP2H memiliki kewenangan yang utuh, akan tetapi kewenangan tersebut bisa didelegasikan kepada berbagai lembaga untuk proses pemeriksaan halal.

Di antara otonomi yang dimiliki oleh MUI (bisa sendiri atau bersama yang lain) adalah pada fatwa halal, pemeriksaan produk halal, sertifikasi auditor halal, sertifikasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), persidangan produk halal dan penandatangan fatwa tertulis atau SK tentang kehalalan produk.

Dengan keputusan rumusan seperti ini, maka MUI telah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam proses pemeriksaan produk halal. Jika dibandingkan dengan BNP2H, maka di sini hanyalah urusan administratif dan penganggaran. Untuk kepentingan administrasi, misalnya untuk pendaftaran pelaku usaha, penandatanganan sertifikat halal dan label halal serta hal-hal lain terkait dengan administrasi.

Tak berleha-leha DPR akhirnya mengesahan Rancangan Undang- Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) menjadi undang-undang (UU), Kamis (25/9/2014). Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) ini bukan hanya untuk melindungi umat Islam, tetapi juga melindungi konsumen non-Muslim. Dengan begitu, barang yang tersedia di pasaran telah memenuhi standar kebaikan dan kesehatan konsumsi.

Tujuan halal itu sendiri adalah memberi keamanan. Diharapkan rasa khawatir terkait produk tanpa sertifikasi halal dan pro-kontranya dapat selesai dengan diberikannya keamanan dalam implementasi UU ini. Kini masyarakat sudah memiliki dasar untuk menuntut para produsen yang selama ini tidak peduli mencantumkan label halal pada produknya.

Terkait hal itu, Presiden Joko Widodo pada 15 Juli 2015 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Kemenag) sekaligus di dalamnya menentapkan BPJPH. Badan baru di kementerian itu ke depan mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai bunyi Pasal 46 Perpres ini.

BPJPH menyelenggarakan fungsi antara lain: a. Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal; b. Pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; c. Pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan d. Pelaksanaan administrasi BPJPH.

Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri (KLN) Kementerian Agama, Achmad Gunaryo menyebut bahwa kewenangan MUI dalam proses penerbitan sertifikat halal tidak ada yang dikurangi. BPJPH nantinya hanya bisa mengeluarkan sertifikat ketika ada fatwa halal. Lembaga yang bisa mengeluarkan fatwa halal dan satu-satunya hanya MUI. MUI punya peran besar bersama BPJPH terkait terbitnya sertifikasi halal.

***

Pada diskusi Sertifikasi Produk Halal, Jaminan Hidup Aman dan Nyaman untuk Seluruh Umat, muncul pertanyaan, berapa sih biaya untuk pembuatan sertifikat hala?  Prof. Sukoso tak menjelaskan secara gamblang besarannya. Hitungan persentasi masih dibicarakan di Kemenag, mungkin dengan Ditjen Bimas Islam.

Karena produk halal itu menyangkut juga aspek bisnis dan perlindungan kehalalan bagi umat, tentu perlu difikirkan "income" bagi pemerintah. Namun ada suara menghendaki agar pembuaan sertifikasi halal itu digratiskan, karena hal itu menyangkut pelayanan umat.

Nikah saja di KUA bisa gratis, mengapa soal pelayanan umat tentang sertifiksi ini tak gratis juga. Yang terpenting adalah pengawasan, setelah mendapat sertifikasi halal - yang dilalui dengan kejujuran penyuguhan datanya - ada ketegasan dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan.

Ini bukan berarti bahwa serba gratis tidak mendidik masyarakat. Sebab, jika harus membayar akan terbuka peluang "main mata" birokrat dan pengusaha. Sementara biaya untuk pemasukan negara, toh masih bisa ditutupi pemerintah. Majunya usaha di negeri ini juga sangat ditentukan dorongan birokrasi yang semakin baik.

Kita, semua, berharap sertifikasi halal segera dijalankan. Thailand - terbaik di Asean dalam hal produk halal - tak lepas dari Winai Dahlan, cucu pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan. Ia patut diberi apresiasi lantaran mampu menghilangkan keraguan umat Muslim terhadap produk makanan halal dan haram di Thailand.

Winai Dahlan bin Irfan Dahlan memang sudah lama bermukim di negeri gajah putih atau Thailand itu. Ia lahir di negeri itu karena orangtuanya, Irfan Dahlan, menjalankan tugas sebagai penyebar Islam. Kedua orangtua Winai menetap di Bangkok, Thailand sejak 1930-an.

Kita berharap hal itu segera terwujud. Selamat bekerja kepada seluruh jajaran BPJPH yang akan tampil dengan logo baru. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun