Pasca-reformasi, cara awak media menyampaikan kritik lebih berani ketimbang masa Orde Baru karena kebebasan menyampaikan pendapat makin mendapat tempat dan perlindungan hukum.
Di negeri ini, kini, pers benar-benar dapat menikmati kebebasannya meski tetap harus mengindahkan kode etiknya. Pers pun makin keras bersaing antarsesamanya memperebutkan "pasar iklan" untuk membiayai hidupnya.
Media cetak secara bertahan bergeser mengembangkan website lantaran melihat pasar pembaca sudah bergeser menggunakan gawai. Masih ada perusahaan pers yang tetap mempertahankan media cetak berupa majalah dan surat kabar, tapi di sisi lain tetap menggarap pasar pembaca melalui website.
Reformasi bagi pers Indonesia, singkat kata, dapat disebut berubah total mengikuti perkembangan zaman. Sejak dulu, memang, pers tak pernah lepas dari Teknologi Informasi dan Komunikasi (Information and Communication Technologies/ICT).
Di zaman bapak-bapak kita kecil, masa kolonial, perusahaan pers masih menggunakan kertas stensilan, buletin. Sekarang sudah tidak ada. Kalau dulu awak media pandai menulis cara cepat yang dikenal steno, kini sudah tidak ada lagi yang menggunakannya.
Cara menulis cepat seperti itu sekarang nggak laku bagi wartawan atau reporter. Sang jurnalis, jika ingin mendapatkan komentar cukup menggunakan perekam atau tape recorder.
Dulu, awak media kenal dengan mesin telek yang dipergunakan untuk mengirim berita. Saat konferensi internasional di luar negeri, panitia menempatkan awal media di press room. Di situ tersedia mesin telek dan mesin tik. Lalu, perkembangan zaman berubah, wartawan mengirim berita dengan faks. Sekarang, meski alat itu ada tapi lebih banyak digunakan untuk keperluan lain. Awak media lebih sering menggunakan internet.
Singkat kata, awak media kini kerjanya lebih ringan. Tantangan di lapangan pun tak terlalu berat, seperti diawasi atau "dimata-matai" pihak tertentu agar tidak menyiarkan berita ini dan itu.
Kerja pers sekarang ini, di bumi pertiwi ini, terasa makin ringan. Publik pun makin cepat terpuaskan. Informasi cepat tersaji di perangkat komunikasi yang ada di tangannya, kapan dan dimana pun sejauh ada jaringan internet di tempat bersangkutan.
Perlahan dan pasti, media cetak berguguran alias tutup. Media televisi makin menjamur. Berbarengan dengan itu, publik makin menggemari penggunaan media sosial atau medsos. Di sini, setiap orang -- kapan dan dimana pun -- bebas menggunakan media sosial. Euforia menggunakan medsos dan mencuatnya berita bohong (hoax) sulit dibendung. Ada pihak menyampaikan pendapatnya kebablasan. Walhasil, yang bersangkuan dijerat UU ITE.
Tatkala tak mengindahkan kesopanan dalam menyampaikan pendapat, saat itu pula polisi sigap dan pintu "bui" menanti bagi penyebar berita bohong dan pelontar ujaran kebencian (hate speech).
***
Sungguh tepat kata Suhu Parni Hadi, dedengkot praktisi media massa. Ke depan, bisa jadi media massa tak perlu lagi redaktur. Pasalnya, dalam penyampaian berita awak media sudah terkontaminasi atau tercemar gaya penulisan di media sosial. Kaidah bahasa -- baik dan benar seperti disampaikan Prof. Dr. Anton M. Moeliono (wafat pada 25 Juli 2011) -- sudah tak diindahkan lagi.
Sedangkan rambu-rambu kesopanan makin terabaikan. Pasalnya, rekrutman perusahaan pers tidak lagi menekankan pada pentingnya standarisasi yang diinginkan dewan pers. Idealnya, rekrutmen reporter dibarengi dengan pendidikan tentang jurnalistik dan kode etik dari perusahaan pers bersangkutan. Hal itu perlu lantaran latar belakang pendidikan mereka itu beragam: hukum, pertanian hingga dokter sekalipun punya hak menjadi jurnalis.
Perusahaan pers kini tengah mencari posisi nyaman di tengah persaingan antarperusahaan pers itu sendiri. Sesama media televisi, radio dan perusahaan pers dalam bentuk portal web bersaing ketat untuk mendapatkan pembaca sebanyak mungkin. Ini kaitannya dengan iklan.
Perkembangannya pun kini makin dinamis. Masing-masing perusahaan media mulai menunjukan jati dirinya kepada publik dengan segmen khusus misalnya sebagai media berita, media hiburan (entertainment), iklan melulu sampai konten ceramah agama. Atau kombinasi pesan yang disampaikan kepada khalayak luas.
Media yang mengusung portel web pun makin agresif. Belakangan ini sudah melengkapi dirinya dengan konten video disamping berita terkini yang makin cepat dan lengkap, dapat dilihat oleh publik sejauh jaringan internet tersedia, kapan dan dimana pun.
***
Sekedar menyegarkan ingatan, Kantor Berita Antara didirikan pada 13 Desember 1937 oleh A.M. Sipahoetar, Mr. Soemanang, Adam Malik dan Pandoe Kartawigoena, saat semangat kemerdekaan nasional digerakkan oleh para pemuda pejuang. Sebagai Direktur pertama pada waktu itu adalah Mr. Soemanang dan Adam Malik sebagai Redaktur (wartawan muda, usia 17 tahun pada waktu itu) merangkap Wakil Direktur; Pandoe Kartawigoena sebagai Administratur serta dibantu wartawan A.M. Sipahutar.
Wikipedia menyebut, kantor berita perjuangan itu kini tengah melakukan diversifikasi produk untuk publik, baik melalui portal berita Antara News maupun portal berita daerah. Layanannya meliputi produksi berita teks, foto dan multimedia sebagai bisnis inti. Beberapa bisnis bukan inti adalah layanan teknis dan pemasaran bekerjasama dengan Reuters, Bloomberg, AFP, Xinhua dan DPA, selain jasa penerbitan, pelatihan jurnalistik, komunikasi pemasaran, PR Wire, dan penyelenggaraan kegiatan di Auditorium Adhiyana.
Selain menyasar pelanggan media, konten untuk masyarakat bisnis juga dikembangkan melalui unit bisnis IMQ. Layanan utama IMQ ini berupa layanan data seketika mengenai harga valuta asing, emas dan komoditi lainnya di bursa-bursa nasional dan internasional, serta informasi dari pusat-pusat bisnis di seluruh dunia.
Realitasnya, setelah kantor berita itu berubah menjadi Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional, Antara perlu dukungan pemerintah agar lebih optimal dalam menjalankan perannya.
Dulu, ketika ada berita dirasakan "penting" tidak tersiar, hukuman bagi si jurnalisnya adalah "grounded", teguran keras. Sekarang, tatkala ada liputan (haji, misalnya) yang terasa dibutuhkan publik, Antara tidak menyiarkannya. Bahkan dianggap sebagai peristiwa angin lalu. Padahal, sebagai kantor berita liputan yang dibutuhkan umat wajib mendapat perhatian, mengingat pelanggan perlu berita bersangkutan.
Dari diskusi para jurnalis senior di Galeri Photo Antara, pada Kamis (28/9/2017) lalu, menghasilkan suatu harapan agar Antara dapat dikembalikan marwahnya sebagai kantor berita.
Jika TVRI dan RRI dalam waktu dekat akan digabungkan, dengan harapan kedudukannya jelas dan kuat. Demikian pula bagi Antara penting diperjuangkan agar tetap berada di bawah presiden secara langsung. Tidak seperti sekarang, berada di tiga kaki: Komenterian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan (yang dalam realitasnya tak pernah punya wakil di jajaran direksi).
Di tengah ramainya berita hoax, peran Antara ke depan makin penting. Kepercayaan publik pada kantor berita ini masih tinggi. Semua pihak tentu berharap, kembalikan marwah Antara sebagai kantor berita terpercaya sebagaimana perjuangan para pendirinya tempo doeloe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H