Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istithaah Kesehatan bagi Jemaah Haji Belum Mujarab

12 September 2017   16:18 Diperbarui: 12 September 2017   22:43 2066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kini sebagian jemaah haji Indonesia tengah menyelesaikan ibadah Arbain di Masjid Nabawi, Madinah. Foto | Dokumen Pribadi.

Haji 2017 | Istithaah Kesehatan Bagi Jemaah Haji Belum Mujarab

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji belum mampu menekan angka wafat jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah pada musim haji 2017.

Permenkes itu dikeluar pada 23 Maret 2016 dan ditandatangani Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dan diundangkan di Jakarta pada 11 April 2016. Pada pelaksanaan musim haji 1438 H / 2017 M ini, pelaksanaan aturan itu belum menggembirakan karena angka wafat Jemaah haji di Saudi Arabia masih tinggi. Kenapa?

Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa dalam aturan ini dijelaskan, jamaah haji yang ditetapkan memenuhi syarat istithaah kesehatan haji merupakan jamaah haji yang memiliki kemampuan mengikuti proses ibadah haji tanpa bantuan obat, alat dan/atau orang lain dengan tingkat kebugaran jasmani setidaknya dengan kategori cukup.

Penentuan tingkat kebugaran dilakukan melalui pemeriksaan kebugaran yang disesuaikan dengan karakteristik individu jamaah haji.Jamaah haji tersebut wajib berperan aktif dalam kegiatan promotif dan preventif.

Jemaah haji yang ditetapkan memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan, merupakan jemaah haji dengan kriteria berusia 60 tahun atau lebih, atau menderita penyakit tertentu yang tidak masuk dalam kriteria tidak memenuhi syarat istithaah sementara dan/atau tidak memenuhi syarat istithaah.

Jemaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara, merupakan jemaah haji dengan kriteria tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional (ICV) yang sah, menderita penyakit tertentu yang berpeluang sembuh, antara lain tuberkulosis (TB) sputum BTA positif, TB multi-drug resistance, DM tidak terkontrol, hiper tiroid, HIV-AIDS dengan diare kronik, stroke akut, pendarahan saluran cerna dan anemia gravis.

Selain itu, suspek (suspect) dan/atau ada penegasan terjangkit penyakit menular yang potensial wabah, psikosis akut, fraktur tungkai yang membutuhkan immobilisasi, fraktur tulang belakang tanpa komplikasi neurologis, hamil yang diprediksi hamilnya pada saat berangkat kurang dari 14 minggu atau lebih dari 26 minggu.

sceenshot Pribadi.
sceenshot Pribadi.
Anggota jemaah haji yang wafat tengah diurus petugas. Foto | Dokumen Pribadi.
Anggota jemaah haji yang wafat tengah diurus petugas. Foto | Dokumen Pribadi.
***

Hingga Selasa (12/9/2017), Jemaah haji Indonesia yang wafat mencapai 431 orang, rata-rata Jemaah beresiko tinggi usia 60 tahun ke atas (336), usia 51-60 sebanyak 72 orang.

Kebanyakan di antara yang wafat itu adalah pria (259), dan wanita (172). Kebanyakan wafat di pemondokan (185), rumah sakit Arab Saudi (179), dan klinik kesehatan haji Indonesia (45).

Jemaah wafat kebanyakan disebabkan penyakit jantung (224 orang). Dan hingga kini Jemaah dari embarkasi Surabaya menempati urutan teratas Jemaah yang wafat (88 orang), disusul Bekasi (66), Solo (63) dan Batam (59). Sedangkan haji khusus 18 orang.

Jika melihat lokasi wafatnya Jemaah, di Mekkah urutan pertama (303), Mina (64), Arafah (19), Muzdalifah (3). Ini menggambarkan, saat puncak haji adalah saat-saat genting bagi Jemaah usia lanjut.

Jumlah jamaah haji yang wafat pada 2014 sebanyak 297 orang. Tahun-tahun sebelumnya tercatat pada 2013 sebanyak 236 orang, pada 2012 sebanyak 428 orang.

Pada 2016 tercatat yang wafat mencapai 390 orang. Angka itu,  jauh lebih kecil jika dibandingkan pada 2015. Pada 2015 jumlah jemaah haji yang meninggal dunia sebanyak 590 orang.  

Jika melihat angka-angka ini, jumlah Jemaah haji Indonesia yang wafat pada 2017 ini sudah melampaui angka yang wafat pada 2012.

Screenshot Pribadi.
Screenshot Pribadi.
***

Haji Suparman (bukan nama sebenarnya) baru saja kembali dari Tanah Suci. Ia berangkat pada gelombang pertama, kelompok terbang awal, dan kini baru beberapa hari berada di kediamannya.

Usai sahalat berjemaah Subuh, pada Selasa pagi, di dalam mushola, oleh rekan-rekannya ia dimintai komentarnya seputar perjalanannya menunaikan ibadah haji. Juga diminta untuk membaca doa agar rekan-rekannya yang shalat di mushola terdekat di kediamannya itu dapat juga dipanggil Allah untuk menunaikan ibadah haji.

Yang menarik dari cerita Pak Haji yang baru menunaikan ibadah rukun kelima itu adalah tentang rekannya yang usia jauh lebih muda. Rekannya yang berasal dari Depok, Jawa Barat, punya perawakan besar dan gagah. Pandai pula mengajinya.

Tatkala berada di Masjidil Haram, ia mampu menyelesaikan baca Alquran dalam hitungan jari. Ia pun bisa menyelesaikan umrah sampai 11 kali ketika berada di Mekkah.

Sayangnya, kata rekan saya itu, pada saat puncak haji -- Arafah, Muzdalifah dan Mina -- kondisi fisiknya menurun drastis. Seusai menjalankan seluruh rangkaian ibadah di Arafah dan menjelang pelaksanaan melempar jumrah, warga dari kawasan Depok itu tak kuasa lagi. Ia lunglai lemas dan tak dapat tertolong hingga wafat.

Seperti dipahami saat puncak haji, mobilisasi petugas haji sangat kurang. Hal itu dapat dipahami karena padatnya kota Mekkah dan sistem transportasi pun tak berjalan. Semua Jemaah, termasuk sebagian petugas, mengandalkan kemampuan fisiknya untuk menyelesaikan ritual ibadahnya. Saat itu, tenaga terkurang habis.

Screenshot pribadi
Screenshot pribadi
Kini sebagian jemaah haji Indonesia tengah menyelesaikan ibadah Arbain di Masjid Nabawi, Madinah. Foto | Dokumen Pribadi.
Kini sebagian jemaah haji Indonesia tengah menyelesaikan ibadah Arbain di Masjid Nabawi, Madinah. Foto | Dokumen Pribadi.
***

Perlu pula diingat bahwa pada Permenkes tersebut ditegaskan bahwa jamaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, merupakan jemaah haji dengan kriteria kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV, gagal jantung stadium IV, kegagalan fungsi ginjal kronis (cronic kidney disease) stadium IV dengan paritoneal dialysis/hemodialisis reguler, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, stroke haemorhagic luas.

Kemudian, gangguan jiwa berat, antara lain skizofrenia berat, dimensia berat dan retardasi mental berat dengan penyakit yang sulit diharap kan kesembuhan nya, antara lain keganasan stadium akhir, tuberculosis totaly drug resistance (TDR), sirosis atau hepatoma decom pensate.

Pada tulisan di atas, penulis sengaja memberi tanda hitam sekaligus sebagai pengingat tentang pentingnya syarat istithaah kesehatan haji tersebut. Jelas, bagi sebagian umat Muslim tentu paham bahwa istithaah (kemampuan berhaji) bukan saja ditentukan dari aspek finansial juga di dalamnya aspek kesehatan.

Sebagian anggota masyarakat paham bahwa peraturan baru tersebut sejatinya wujud keseriusan Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan penyelenggaraan ibadah haji bersama Kementerian Agama dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.

Hal itu sejalan dengan Undang Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji. Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.

Penyelenggaraan ibadah haji merupakan rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan dan perlindungan jemaah haji.

Dari sekilas gambaran yang dialami Jemaah haji sekembalinya di Tanah Air, ada hal menarik jika dikaitkan dengan Permenkes tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Yaitu, istithaah kesehatan ternyata baru sebatas "filter" bagi orang-orang yang tak layak menunaikan ibadah haji.

Hal ini memang langkah maju upayan pemerintah mengurangi angka wafat di  Tanah Suci. Namun akan terasa lebih efektif jika calon Jemaah haji sebelum berangkat ke Tanah Suci diberi pemahaman yang benar tentang menjaga kesehatan dan kebugarannya. Imbauan agar tidak memforsir tenaga untuk ibadah sunah berlebihan hendaknya dicegah agar ibadah yang pokok, wukuf di Arafah tidak membawa resiko pada kesehatan yang menurun. Ibarat pohon, mereka perlu disirami secara berkesinambungan.

Agar Permenkes itu terasa sebagai "obat mujarab", perlu dorongan sosialisasi yang tepat. Permenkes ini perlu ditingkatkan sosialisasinya mengingat lagi Jemaah haji Indonesia adalah yang terbesar dibanding negara lainnya.

Sosialisasi melibatakan kalangan pimpinan informal, ulama dan ustadzah, kalangan perguruang tinggi Islam penting dilakukan. Kita berharap tahun depan angka wafat Jemaah haji dapat ditekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun