Usai shalat Jumat, beberapa warga kembali mengerumuni lokasi pemotongan hewan. Nampak hewan-hewan kurban seperti sapi dan kambing sudah selesai dikuliti. Bulu kambing dan sapi sudah dipisah. Para pekerja disibukan dengan memisahkan potongan-potongan daging, lantas dibungkus untuk secepatnya dibagikan kepada warga kurang mampu.
Warga kurang mampu tak perlu mendatangi lokasi pemotongan hewan untuk mendapatkan daging kurban. Mereka didatangi petugas panitia pemotongan hewan setempat.
"Ini kita lakukan dengan cara begitu, untuk hindari desak-desakan," kata seorang panitia pemotongan hewan.
Penulis menjumpai di kawasan Haji Koteng, ada panitia pemotongan hewan membentuk tim memasak. Tim ini terdiri dari para ibu rumah tangga. Sekitar 10 - 15 perempuan terlibat dalam kesibukan di "dapar umum".
Mereka memasak nasi dan kebutuhan segala lauk pauknya. Termasuk daging kurban yang diperoleh dari panitia setempat.
Para pekerja pemotong hewan lantas disuguhi masakan oleh para ibu. Uniknya, yang ikut menikmati masakan para ibu tersebut tak terbatas di kalangan pekerja, para orang tua dan ibu-ibu di lingkungan setempat, tetapi juga anak-anak remaja dan bocah usia belasan tahun disertakan makan bersama.
Penulis juga mendapati bahwa yang ikut menikmati makan bersama di lokasi pemotongan hewan itu juga datang dari kalangan warga non-muslim. Jumlahnya memang hanya satu dua orang, namun semangat pesan kurban tercermin di sini.
Kurban bukan hanya membersihkan manusia dari sifat hewani, tetapi juga membangun semangat gotong royong dan kebersamaan antarwarga.
"Kegiatan seperti ini sudah lama berlangsung. Sudah jadi tradisi lah," kata seorang warga yang tak mau disebut jatidirinya.
Makan bersama yang dilayani tim panitia "dapur umum" itu berlangsung hingga petang hari. Jika ada warga sore hari masih juga singgah, akan dilayani.