Singkat cerita,  Ibrahim membawa Hajar  yang tengah mengandung ke sebuah tempat di sekitar Mekkah. Hajar mempelajari bahwa Tuhan telah memerintahkan Ibrahim suaminya untuk meninggalkannya di gurun pasir yang bernama Faran dan Hajar menghargai keputusan itu.
Seusai melahirkan, Hajar bingung karena tak memiliki air. Sementara anaknya yang baru dilahirkan dalam keadaan sekarat. Hajar panik. Kemudian ia lari mendaki dua bukit yang terdekat secara berulang-ulang mencari air. Setelah tujuh kali mendaki, kemudian Jibril menyelamatkannya dengan memukulkan sayapnya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dari dalam tanah. Mata air ini disebut zamzam terletak dekat Ka'bah di Mekkah.
Kisah Hajar yang berulang-ulang berusaha mencari air untuk anaknya, ia berlari di antara bukit Safa dan Marwa kini menjadi bagian dari ritual bagi para umat Muslim yang tengah meninaikan ibadah umah dan haji, dikenal sebagai sa'i.
Sejatinya Nabi Ibrahim as tidak pernah lupa terhadap anak dan isterinya yang ditinggalkan di tempat yang sangat jauh, di padang pasir yang tandus, Â tak terdapat manusia dan tumbuh tumbuhan. Ditinggalkannya dengan menyerahkan nasib keduanya hanya kepada Allah semata. Lebih lebih lagi terhadap anaknya Ismail, anak yang bertahun tahun diidam- idamkannya.
Diutuslah orang untuk mengetahui keadaan anak dan istrinya. Alangkah gembira dan bahagianya Ibrahim as, setiap orang yang diutusnya itu datang membawa kabar yang mengatakan keadaan anak dan isterinya dalam keadaan sehat walafiat. Apalagi di tempat itu muncul sebuah sumber mata air dan banyak didatangi musafir, sehingga wilayah itu menjadi ramai. Ibrahim bersyukur, berdoa, lalu bersyukur dan berdoa: Ya Allah, aku meninggalkan anak dan isteriku di tempat sepi yang tidak ada manusia dan tidak ada pula buah buahan. Berilah mereka rezeki yang merupakan air dan buah buahan, jadikanlah hati manusia tertarik kepada mereka, agar mereka tidak hidup dalam kesepian.
Doa seorang bapa terhadap anak dan isteri dari pandangan mata, adalah termasuk doa yang sangat diperhatikan dan dikabulkan oleh Allah. Doa ini sesungguhnya dipanjatkan Nabi Ibrahim berlaku hingga hari Kiamat.
Nabi Ibrahim as, yang hidup abad 18 SM, Â berada pada masa persimpangan jalan pemikiran manusia tentang kurban-kurban manusia untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa dan tuhan-tuhan mereka.
Perintah Allah kepada Ibrahim as untuk menyembelih anaknya (Ismail) adalah ujian terberat, sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah.
Ibrahim menjumpai puteranya Ismail ketika sudah besar. "Ketemu anak baru gede, gitu kira-kira," kata Najmudin sambil melemparkan humor agar peserta pengajian tetap dalam suasana segar menyimak tausiyahnya.
Ketika bermain-main bersama Islamil, Â dalam perjalanan pulang kemalaman di kawasan Muzdalifah. Di sini anak dan bapak bermalam. Di kawasan itu pulalah, dalam ritual ibadah haji, bagi jemaah haji diperintahkan untuk bermalam (mabit). Ibrahim bermimpi.
Nabi Ibrahim as berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu." Ismail menjawab, "Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."