Di Jalan Proklamasi Kuingat Soekarno - Hatta
Berkali-kali klakson mobil terdengar memekakan telinga. Satu sama lain para pengemudinya memberi isyarat, meminta jalan untuk berada di depan pada saat kondisi lalu lintas padat merayap. Maklum Jakarta kini dikepung kemacetan karena di beberapa titik persimpangan jalan tengah dikerjakan pembangunan tiang pancang jalan layang (flyover), Light rail Transit (LRT) dan double-double track (dua rel ganda) kereta api.
Jakarta kini tengah 'getol' membangun flyover dan tiang double-double track kereta api dan tiang pancang LRT di sisi sejumlah jalan ibukota. Jalan Proklamasi terkena imbas kemacetan. Sebab, kendaraan dari jalan dari arah Matraman dan Pemuda, termasuk dari Jalan Tambak bertemu pada ruas jalan bersejarah itu. Pada saat jam sibuk, pagi dan petang, jangan harap 'mimpi' melintasi jalan tersebut tanpa hambatan, lengang.
Kemacetan lalu lintas di Jakarta akibat dampak pembangunan infrastruktur sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Pembangunan infrastruktur memang sudah terasa ketinggalan dan harus dikejar. Apalagi di daerah, infrastruktur perhubungan masih dalam kondisi 'memelas'. Namun, yakinlah, anak negeri ini tentu bukan berarti mengabaikan hasil perjuangan para pendiri bapak bangsanya.
Bertepatan menyambut perayaan 17 Agustus 1945 yang jatuh beberapa hari lagi, kusempatkan melintas Jalan Proklamasi Jakarta. Dalam suasana macet parah di jalan itu, dari belakang setir kupandangi patung Bung Karno dan Bung Hatta.
Dimana-mana kusaksikan anak negeri memasang Bendera Merah Putih. Para pedagang pun memetik untung dari penjualan benderanya meski bisnis ini tergolong musiman dan ringan. Kesenian ondel-ondel pun masih ikut menari riang disertai pemusiknya sedikit rada nakal karena tak dapat sumbangan dari pemilik warung pinggir jalan.
Tukang koran di persimpangan masih bersemangat berdagang di persimpangan jalan meski kurang laris lagi lantaran termakan 'tekonologi' digital. Tak ada lagi teriak Abang Koran menyuaran judul berita dengan segala 'bumbunya' sebagai 'pemanis' agar korannya dibeli. Yang jelas, kini anak negeri sibuk menghias negeri dengan Bendera Merah Putih dan atribut lainnya.
Gema menyambut 17 Agustus 1945 juga terasa di kampung-kampung pinggir Jakarta. Mulai tingkat erte hingga erwe sampai kelurahan sudah disibukan membentuk panitia. Artis dang-dut bakal laris, panen pesanan. Pak erte dimana-mana siap-siap memberi sambutan atau berpidato di hadapan warga.
Panitia di tingkat erte dan erwe juga sibut membuat panggung, gapura dan membeli ini - itu untuk hadiah lomba untuk anak-anak yang duitnya dikumpulkan hasil sumbangan warga. Pokoknya, meriah. Apa lagi dari kelurahan sudah ada imbauah agar warga, pengurus erte dan erwe sampai kelurahan harus ikut upacara 17 Agustus pagi.
Tapi, begitulah anak negeri menyambut 17 Agustus 1945 sebagai hari Kemerdekaan RI.
Dan di tengah jalan Proklamasi yang tengah macet itu, pikiranku menerawang ke makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. Badan pun terasa berkeringat, meski AC mobil kondisi aktif. Bukan karena lelah akibat jalan raya macet parah, tapi kukira alam pikiran tertuju kepada makam Bung Karno yang hingga kini banyak memberi inspirasi bagi anak negeri.
Sambil merenungi makna Kemerdekaan RI ke-72, aku merasa beruntung. Sebab, punya kenangan pernah berziarah ke Makam Bung Karno. Ziarah bagiku adalah mendoakan bagi orang yang telah wafat. Berziarah ke makam para pemimpin bangsa kurasakan akan mendatangkan keberkahan. Tentu bagi peziarah, siapa pun dia, menyadarkan mereka akan kebaikan dan amal baktinya kepada generasa mendatang.
Kini, berkibarnya bendera merah putih tentu digapai tidak secara mudah. Ada darah dan nyawa para pahlawan yang harus dibayar melalui perjuangan para pahlawan. Sungguh elok tentu dalam menyambut HUT RI itu, seluruh anak negeri memanjatkan doa bagi para suhada, para kusumabangsa dan pejuang negeri ini.Â
Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H