Nasi Uduk Mpok Ira, Diminati dengan Segala Bumbunya
Di warung nasi uduk yang sederhana ini, selera makan semakin tertantang bukan lantaran pelayanan seperti di sejumlah restoran mewah di kawasan ibukota Jakarta dengan ruang penyejuk AC. Bukan pula ketiadaan musik lembut romantis, tetapi karena kesederhanaan tanpa mengabaikan kebersihan yang dimilikinya.
Berlokasi di kawasan Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Tepatnya berseberangan dengan Rumah Sakit Budhi Asih. Warga setempat menyebutnya Warung Nasi Uduk, dengan pelayannya biasa dipanggil Mpok Ira. Yang dijual bukan cuma nasi saja tetapi juga tersedia: semur jengkol, jengkol bumbu semur, kentang semur, ikan tongkol semur, tempe orek bumbu kecap.
Bagi penggemar makanan khas Betawi, di warung ini tersedia lupis gula cair merah. Harganya pun tak mahal. Untuk nasi uduk dibandrol paling mahal Rp15.000 dengan segala lauk serba jengkol atau kentang. Siiip. Untuk kue lupis juga murah, sekitar Rp6000.
Yang menarik, Mpok Ira dan babe, maksudnya orangtua dan keluarga sebagai pemilik warung di pojok jalan ini tidak egois. Kate orang Betawi, nggak mau tamak. Apa lagi bahil. Lihat, pada Jumat pagi (7/7) yang cerah itu, di sekeliling warungnya ada tukang bakso, bakmi, soto mi, dan lainnya. Para pedagang ini berasal dari berbagai daerah. Â Si pemilik tak bertanya atau mempersoalkan asal usul daerah atau pun tingkat pendidikannya. Mereka ini diberi tempat atau ruang untuk mengais rejeki bersama.
Sudah setahun Mpok Ira berjualan nasi uduk. Animonya makin tinggi. Rejeki pun lancar. Bagi warga Betawi, nasi uduk sudah lama menjadi ciri khas yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Janis nasi ini bisa dikonsumsi pada siang hari, untuk sarapan atau makan bersama pada malam hari.
Di kalangan etnis Melayu, - Sambas dan Pontianak (Kalimantan Barat) - jenis makanan ini disebut nasi ulam. Di Banjarmasin hampir serupa, tapi disebut nasi kuning karena diberi kunyit. Nasi kuning di daerah ini biasa disantap dengan lauk ikan gabus. Untuk Etnis Betawi, ikan gabus lebih populer jika diolah menjadi gabus pucung (bumbu kluwek, warga hitam pekat). Untuk Jawa Timur, kluwek biasa digunakan untuk rawon.
Eih, kaya nian Indonesia, ya! Itu baru masakan dengan cerita bumbunya. Cerita kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el bumbu korupsinya pun tak kalah heboh dan makin seru dengan hak angketnya. Dapat dirasakan aromanya dengan hidung, seperti ibu rumah tangga tengah memasak di dapur tapi tak bisa dilihat. Jadi, seperti kentut juga boleh lah!
Nggak apalah sedikit ngawur celoteh bumbu masakan dan bumbu korupsi. Sebab, di warung nasi uduk Mpok Ira ini toh warga sambil duduk makan nasi uduk juga mendiskusikan segala bumbu yang berbau kentut. Maklum para penikmat nasi uduk bukan dari strata rumput saja, tapi juga dari bawah hingga strata sosial atas. Mereka makan di situ bukan jadi tujuan pokok tapi sambil mengurus SIM kendaraan mereka yang tengah diproses di kantor sebelahnya. Sambil nyelam minum air. Prinsip asas saling manfaatkan, gitu kira-kira.
Di warung ini dibahas pula sikap pelayanan rumah sakit milik daerah Pemprov DKI Jakarta. Para penikmat nasi uduk ada yang memuji pelayanan dokter rumah sakit itu makin baik. Tapi ada juga yang menilai pengamanan berlebihan, terlalu ketat. Satpamnya jarang lempar senyum. Padahal anggota keluarga pasien menanti keramahan.
Yang menarik, para ibu anggota pasien mengeritik fasilitas rumah sakit itu. Soal kebersihan, mereka berharap Satpam bersikap tegas soal ini. Termasuk juga toilet di sejumlah kamar pasien dan beberapa lantai rusak, air tak ngalir.
Diskusi makin hangat, ketika sekelompok penikmat nasi uduk membahas anggota dewan dan pejabat di negeri ini. Tentu pembahasan sambil mengunyah nasi uduk. Putra Joko Widodo, president kita masuk jadi bahasan, meski mereka tidak tahu asal muasal mengapa putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep jadi ramai di media sosial.
Namanya juga warung pinggiran, orang yang berceloteh seperti itu tak bisa dimintai penjelasan lebih dalam. Soalnya, mereka pun tak memperoleh dari sumber informasi seutuhnya. Informasi sepotong-potong yang kemudian diangkat dalam disuksi guna menambah nikmat makan nasi uduk.
Nasi uduk habis disantap, tapi pembahasan tak kunjung selesai. Warga pelanggan nasi uduk tak melanjutkan diskusi. Bubar begitu saja. Rupanya, tuntutan mencari sesuap nasi harus jadi prioritas. Tapi, bukan segenggam berlian yang mereka cari. Bukan pula mencari kekayaan yang pada akhirnya dapat mengantarkan untuk nginap di hotel prodeo.
Jangan lupa, bayar tuh nasi uduknya dulu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H