Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Riwayat Lapangan Banteng, Kok Begini?

5 Juli 2017   15:17 Diperbarui: 5 Juli 2017   19:55 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Nyaman untuk olahraga, tapi perlu dipercantik (Dokumen Pribadi)

Riwayat Lapangan Banteng, Kok Begini?

Bagi para orang tua berusia lanjut, entah kini masih berdomisili di Jakarta atau kawasan daerah pinggir tentu masih kuat ingatannya tatkala disebut Lapangan Banteng. Apa lagi ingatan para orang tua ini dibangkitkan dengan cerita soal kendektur bus antarkota dan dalam kota yang kerap berteriak: "banteng, banteng... banteng!".

Paling tidak, para orang tua akan mengenangnya dengan tawa terkekeh sambil memperlihatkan giginya yang tinggal dua. Ya, seperti lagi burung kakak tua. Gitu kira-kira.

Lantaran para kondektur sengaja mengeraskan sebutan banteng, kadang mereka harus berhadapan dengan simpatisan atau pendukung Golongan Karya atau Golkar yang saat itu tak mau disebut sebagai partai, tetapi sebagai golongan para karyawan (birokrat).

Cukur rumput, mempercantik taman (Dokumen Pribadi)
Cukur rumput, mempercantik taman (Dokumen Pribadi)
Nyaman untuk olahraga ringan (Dokumen Pribadi)
Nyaman untuk olahraga ringan (Dokumen Pribadi)
Teriakan banteng-banteng dimaksudkan bahwa bus munuju terminal Lapangan Banteng. Namun bagi sang kondektur, sebutan banteng juga dimaksudkan sebagai dukungan terhadap partai yang menjadi lawan dari Golkar. Maklum, pada era tahun 1970 hingga 80-an itu, partai berlambang kepala banteng tengah menghadapi tekanan.

Saat itu, Lapangan Banteng sebagai terminal pusat. Lainnya, Terminal Grogol, Priok, Rawamangun, Pulo Gadung, dan Terminal Cililitan berada di beberapa wilayah. Jika anda tak tahu arah atau nyasar, datang saja ke terminal Lapangan Banteng ini. Maka, anda akan mudah mendapatkan bus tujuan yang diinginkan. Sama seperti halnya Halte Busway Central Harmoni untuk saat ini.

Hanya saja, di Terminal Banteng saat itu kondisinya sangat sarat dengan kesibukannya. Selain kotor, juga bising. Suara teriak manusia seolah tak henti-hentinya diselingi deru kenalpot bus dengan polusi tinggi. Knalpot mengeluarkan asap hitam. Persis kompor meleduk seperti lagu yang dibawakan Benyamin Sueb.

Belum lagi para preman saling adu kuat, saling cari pengaruh. Perkelahian sering terjadi. Ditambah lagi perkelahian antarpelajar kerap mewarnai kawasan itu. Wah, seru banget.

Jika anda kenal baik dengan bos preman setempat, keberuntungan bisa berpihak kepada anda. Pasalnya, saat dompet dicopet dan kemudian lapor kepada kepala preman maka barang anda yang hilang akan mudah ditemukan. Para copet setiap memperoleh hasil akan melapor kepada sang bos.

Kantor Pengcab PSSI Jakpus, sederhana tapi tak apik. (Dokpri)
Kantor Pengcab PSSI Jakpus, sederhana tapi tak apik. (Dokpri)
Tribun lapangan sepakbola, kurang perawatan (Dokumen Pribadi)
Tribun lapangan sepakbola, kurang perawatan (Dokumen Pribadi)
Di Lapangan Banteng pula selain disesaki pada pedagang kaki lima, juga ada orang-orang yang mengaku sebagai peramal. Sering terjadi, penumpang bus dipaksa untuk memperlihatkan telapak tangannya. Kemudian orang bersangkutan menjelaskan tentang nasib anda: sial atau keberuntungan.

Yang jelas, anda akan memperoleh sial. Pasalnya, dari hasil ramalan peramal itu anda akan dimintai duit. Sekecil apa pun imbalan yang anda berikan, peramal ini akan menerima. Jika tidak, anda akan dipersulit karena rekan-rekan mereka segera datang. Seolah ingin mengeroyok. Rempong deh pokoknya saat itu.

Sebagian orang tua yang kini menjadi pejabat banyak di antaranya menyimpan kenangan manis di Lapangan Banteng. Loh kok, bisa manis, ya?. Ya, jelas. Sebab, isteri-isteri mereka sekarang adalah mantan pacarnya yang sering membuat janji bertemu di Terminal Lapangan Banteng itu. Maklum, saat itu, mahasiswa masih menjadikan bus sebagai andalan menuju kampus yang banyak bertebaran di wilayah Jakarta Pusat.

Di zaman kolonial, Lapangan Banteng dikenal sebagai Lapangan Singa. Kenapa? Sebab, di tengahnya ada tugu peringatan kemenangan perang antara Waterloo, dengan patung singa di atasnya. Tugu tersebut dirobohkan pada jaman pemerintahan pendudukan tentara Jepang.

Ini bagian yang terabaikan dari perawatan (Dokumen Pribadi)
Ini bagian yang terabaikan dari perawatan (Dokumen Pribadi)
Petugas kebersihan hanya membersihkan bagian taman. Kawasan fasilitas olahraga tak tersentuh (Dokumen Pribadi)
Petugas kebersihan hanya membersihkan bagian taman. Kawasan fasilitas olahraga tak tersentuh (Dokumen Pribadi)
Ketika Indonesia merdeka namanya diganti menjadi Lapangan Banteng. Disebut demikian karena pada waktu Jp. Coen membangun kota Batavia, di dekat muara Ciliwung, lapangan tersebut masih berupa hutan belantara yang sebagian berpaya-paya. Saat itu banyak banteng berkeliaran dan binatang lainnya seperti macan dan kijang.

Jika dilihat dari catatan portal Pemprov DKI,  pada tahun 1993 fungsi Lapangan Banteng dari terminal kemudian dikembalikan sebagai ruang terbuka hijau kota. Taman Lapangan Banteng ditata secara bertahap dari tahun 2004 sebelum akhirnya disempurnakan pada 2007. Taman ini kemudian sering dipergunakan untuk berbagai macam kegiatan, salah satunya acara tahunan Pameran Flora dan Fauna.

Sekedar catatan, luas Lapangan Banteng adalah 52.790 meter persegi dengan diperindah tanaman hias 1.037 merter persegi. Sayangnya, fasilitas olahraga yang ada kurang terawat. Di lapangan ini, banyak pegawai, termasuk personel TNI yang berkantor di sekitar lapangan Banteng Barat dan Timur memanfaatkan lapangan tersebut.

Kawasan untuk kegiatan flora dan fauna memang terawat, tapi lihat bangunan pendukung patung pembebasan Irian Barat dan fasilitas olahraga. Pagar dibiarkan rusak, toilet kondisinya memprihatinkan dan belum lagi lainnya.

Ketidakpedulian dari Pemda DKI terhadap fasilitas olahraga itu juga jadi catatan perjalanan sejarah Lapangan Banteng. Beginikah riwayatnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun