Di Kuala Lumpur, nikah dilakukan berupa massal. Termasuk di negara bagian Malaysia: Kucing (Serawak) dan Kinibalu (Sabah). Penyelenggaraan nikah tidak seperti dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Tergantung pihak KBRI setempat. Tetkala punya dana, barulah diselenggarakan. Tegasnya, tergantung ‘mood’ dari petugas setempat.
Ingat, jumlah tenaga kerja Indonesia di Malaysia, Arab Saudi dan negara sahabat di Timur Tengah angkanya bisa mencapai jutaan. Belum lagi di Hongkong, Korea Selatan dan Jepang. Tidak ada data resmi berapa banyak WNI di negeri jiran atau Timur Tengah kawin di bawah tangan alias nikah ilegal.
Pernah penulis, dalam perjalanan pulang dari Jepang dan mampir di Hongkong, menjumpai beberapa TKI di sebuah taman luas di kota bersangkutan. Dari obrolan ringan, diperoleh cerita bahwa ada warga Indonesia nikah dengan warga negara lain tanpa dukungan dokumen.
Sebetulnya mereka menginginkan nikah secara formal dan dapat pengakuan dari negara. Tapi, karena ketidaktahuan atau akses informasi ke konsulat setempat tidak ada, apa boleh buat. Terjadi, ya terjadilah. Isu kumpul kebo pun tak diperhatikan pemerintah.
Ketika penulis bertugas Media Center Haji (MCH) pada musim haji 2007, 2008 hingga 2010, kasus serupa juga terjadi di Jeddah. Ribuan tenaga kerja Indonesia "overstayers", termasuk anak mereka, memenuhi kolong Jembatan Palestine Street Jeddah, Arab Saudi. Banyak TKI yang sudah habis masa tinggalnya itu, di tempat yang sama jatuh cinta dengan pasangan berkebangsaan asing.
Bisa dibayangkan, dari seorang ibu ketika kembali ke Tanah Air kemudian melahirkan dan punya anak jauh lebih ganteng dari rata-rata orang Indonsia. Mereka ini sudah berhasil dari sisi memperbaiki keturunan. Tetapi dari status jati diri anak menjadi tidak jelas ke depannya.
Kasus ini banyak ditutupi. Bagi pemerintah Arab Saudi, TKI yang overstay – empat tahun silam – sering dipulangkan ke Tanah Air oleh pemerintah setempat secara massal. Beberapa lembaga sosial, LSM atau NGO yang punya kepedulian dengan nasib TKI di sini, pernah mengumpulkan uang lalu memulangkan saudara kita yang bernasib kurang baik itu ke Tanah Air.
Nikah ilegal di luar negeri, terutama di negara yang banyak menyerap tenaga kerja asal Indonesia, banyak terjadi. Sepintas dokumen mereka lengkap karena punya buku nikah asal Indonesia. Buku nikah ini dibawa oknum Jemaah haji dengan berbagai cara ilegal. Dapat ditarik kesimpulan, hal itu menyangkut jaringan mafia, mengingat keuntungan yang diperoleh menggembirakan.
Buku nikah selama tinggal di luar negeri menjadi penting. Sebabnya, petugas atau pihak otoritas setempat kadang memintanya sebagai kelengkapan dukungan dokumen lainnya, seperti paspor dan kartu keluarga.
Karena itu, Ditjen Bimas Islam, Kementerian Agama, berulang kali mengimbau umat muslim untuk menghindari nikah siri atau pun nikah secara ilegal. Sebab, selain menyulitkan kedua pasangan dalam berumah tangga, juga menjadi bibit masalah bagi keluarga di masa datang.
Yang enak kan awal-awalnya saja. Selanjutnya, memang terserah, Tetapi yang jelas Kementerian Agama kini sudah memberi kemudahan, membebaskan seluruh biaya nikah jika dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah di KUA gratis dan jika diselenggarakan di hari libur atau di kediaman/tempat lainnya dikenai biaya Rp600 ribu,
Melaksanakan nikah memang harus melengkapi dokumen, seperti ada surat pengantar dari ketua rukun tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) hingga sampai kelurahan/kecamatan, tetapi itu semua tak boleh menjadi hambatan.