Suku Badui yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, mencintai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Jumlah warga Badui diperkirakan 10.500 jiwa. Mereka menilai Pancasila menjadikan "harga mati" dan tidak bisa diganti lagi ideologi negara itu. Mereka menegaskan, Pancasila dan UUD 45 dapat mempersatukan keanekaragaman rakyat Indonesia dengan perbedaan agama, suku, budaya dan bahasa.
Dengan Pancasila, bangsa Indonesia menjadi bersatu, bersaudara serta saling menghormati dan menghargai di tengah perbedaan itu. Persatuandan kesatuan bangsa semakin kokoh dan kuat. Sebagai rakyat Indonesia tentu sangat mencintai Pancasila sehingga kehidupan komunitas Badui merasa aman, nyaman dan tenang.
"Kami sangat mencintai Pancasila dan UUD 45 karena hidup menjadi rukun, damai, tentram dan aman," kata Pemuka Adat Badui yangjuga Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, di Rangkasbitung.
Kehidupan masyarakat Badui lebih tertib dan rukun. Hingga kini belum pernah terjadi keributan, apalagi sampai melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Masyarakat Badui sangat menghormati dan menghargai terhadap siapa saja, sehingga belum ada warga Badui yang terlibat hukum.
Jika saja Ir. Soekarno atau Bung Karno tahu etnis Badui demikian mengindahkan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, bisa jadi Bapak Proklamatoritu akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada masyarakat ini.Dalam berbagai lembaran sejarah, lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan”) pada tanggal 1 Juni 1945.
Dian Apita Sari dari Universitas Malayahati Bandar Lampung dan juga beberapa sejarawan menyebut bahwa pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakannya “Pancasila”. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi olehsegenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai.
Kini setelah 71 tahun merdeka, bangsa Indonesia merindukan pentingnya aktualisasi nilai Pancasila. Pasalnya, banyak problem bangsa yang sejatinya bisa diatasi dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila.
Karena itu, tanggal 1 Juli – lahirnya Pancasila - menjadi relevan untuk dijadikan momentum untuk meningkatkan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal seperti nilai-nilai silih asih (saling mencintai), silih asah (saling mencerdaskan), dan silih asuh (saling mendampingi dan membimbing) sangat sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ke depan, sungguh tepat apabila Pancasila mendapat porsi yang cukup disampaikan kepada anak didik pada lembaga pendidikan: sekolah dankampus. Penguatan nilai Pancasila di lingkungan kampus kini menjadi makin penting. Mahasiswa harus memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa dan harus menolak paham radikalisme.
Sebab, persoalan terbesar bangsa ini, sekarang ini adalah toleransi di masyarakat ditandai munculnya radikalisme di kelompok-kelompok anak muda sebagai sasarannya.
Realitasnya, saat ini kampus telah menjadi sumber target gerakan intoleran, selain intitusi pemerintahan dan masyarakat. Tidak jarang ada kelompok masyarakat mempertentangkan antara agama dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.
Padahal, Pancasila adalah solusi kebangsaan (hululwathaniyah) yang menjadi titik kesepakatan dan kompromi dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan, roh agama menjadi kekuatan besar yang mengilhami kelahiran Pancasila itu.
Bagi yang belum paham nilai-nilai Pancasila, ada baiknya menengok etnis Badui. Kesederhanaan dan kasih sayang antarsesama terlihat dalam keseharian. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar moto atau semboyan, tetapi diamalkan dalam kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H