Menyangi Duyung, Apa Salahnya?
Hati merasa gembira setelah membaca laporan pewarta Antara Ernes B Kakisina dari Papua bahwa masyarakat adat Kampung Aduwei, Distrik Misol Utara, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat berkomitmen melindungi Dugong, mamalia laut yang disebut ikan duyung oleh masyarakat setempat.
Janis mamalia bernama Dugong atau Duyung ini belakangan ini kehadiranya makin terancam oleh para pemburu liar. Dugong merupakan mamalia laut dari ordo Sirenia dan masuk dalam famili Dugongidae.
Biasanya masyarakat memburu untuk mengambil daging dan minyaknya, dan hingga saat ini jumlah populasi dugong semakin berkurang hingga hampir mendekati kepunahan.
Mamalia ini dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Selain itu, juga UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Dugong memiliki ancaman kehidupan yang tinggi. Dalam berbagai literatur, secara alami dugong memiliki reproduksi yang lambat. Dibutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dewasa dan 14 bulan untuk melahirkan satu individu baru pada interval 2,5-5 tahun.
Alasan lain kenapa mamalia ini paling banyak diburu, karena: diambil daging dan minyaknya. Masih kuat anggapan di sebagian masyarakat bahwa minyak ikan duyung ini bisa dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit tuberkulosis (TBC) dan nyeri persendian. Sedangkan taringnya sering digunakan untuk pembuatan pipa rokok. Bahkan minyaknya diyakini sebagai pengasih atau memikat hati seseorang.
Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan satwa, mamalia Dugong atau Duyung di kategorikan sebagai jenis satwa yang dilindungi.
Jenis mamalia laut ini merupakan salah satu spesies dari 20 spesies prioritas yang menjadi target penting Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Pemerintah sangat serius melindungi mamalia ini. Belum lama ini dua ekor dugong berhasil diselamatkan atas laporan masyarakat terkait penemuan dua kerangkeng besar berbentuk jaring di Pulau Kokoya, Jumat (11/3) dalam kondisi terluka.
Lantas, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) beserta stakeholder  turun ke lapangan, berkoordinasi dan negosiasi secara persuasif kepada nelayan yang mengurung hewan laut tersebut agar kedua dugong segera dilepaskan.
Kedua ekor dugong tersebut berhasil diselamatkan dan dilepaskan di perairan Pulau Kokoya dengan disaksikan oleh Bupati Morotai, Pengawas Ditjen PSDKP, TNI, Polri dan Nelayan yang mengurung kedua mamalia laut itu.
![Puteri Duyung dalam mitologi kuno (Foto, Bacaterus.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/05/28/puteri-duyung-dalam-mitologi-kuno-592ad9202523bdbb048b4567.jpg?t=o&v=770)
Masyarakat adat setempat terlibat dalam melindungi duyung dengan pendekatan karifan lokal. Sebuah tradisi adat ke depan diharapkan dapat melindungi dan melestarikan kehidupan Dugong dengan cara yang disebut Sasi oleh masyarakat setempat.
Sasi adalah sebuah larangan adat bagi masyarakat agar tidak menangkap duyung bahkan ikan lainnya dengan bebas di perairan kampung.
Dengan tradisi itu, masyarakat boleh menangkap ikan di perairan kampung setelah masa Sasi selesai atau Sasi dinyatakan dibuka. Sasi biasa berlaku selama enam bulan dalam setahun.
Meskipun masa Sasi sudah selesai masyarakat dapat menangkap ikan di perairan kampung, tetapi masyarakat tidak lagi menangkap duyung.
Masyarakat setempat melindungi duyung karena wisatawan sering mengunjungi daerah itu untuk melihat duyung.
Selain itu, duyung dilindungi agar tidak punah dan dapat dinikmati oleh generasi dimasa yang akan datang.
Pesona laut kampung Aduwei sangat indah dan siapa saja yang berkunjung mudah melihat duyung bahkan bisa berinteraksi dengan duyung. Sayangnya transportasi sulit dan keindahan daerah itu belum banyak diketahui wisatawan.