Di Kemenag, Apakah Jurnalis Bisa Menegakkan Benang Basah?
Judul di atas terkesan bodoh. Logikanya, sudah tahu benang tatkala basah tak bakal bisa ditegakkan. Dalam keadaan kering saja, untuk ukuran sepanjang satu atau dua sentimenter, benang sekuat apa pun sulit ditegakkan. Apa lagi dalam keadaan basah. Pekerjaan sia-sia.
Jurnalis pandir. Bodoh. Ia cuma mampu bagaikan anjing menggonggong tatkala maling masuk ke rumah. Tapi, jangan dikira, loh. Karena bisa juga anjing menggonggong tatkala tuan yang disayangi tiba di rumah.
Hanya jurnalis sok, angkuh dan idealis mau menggong tatkala lingkungannya terasa tak nyaman. Lingkungan rusak karena ada oknum warga mengganggu organisasi, institusi atau rumah tangga seseorang lantaran ada: maling, rampok atau pembunuh bayaran.
Lantas apa kaitan jurnalis dengan pekerjaan bodoh, menegakkan benang basah itu?
Begini. Di negeri tercinta ini, sebagian masyarakat yang sudah tercerahkan dan melek tentang media massa (media sosial) pasti paham bahwa fungsi pers, media massa dan para awak reporternya adalah salah satunya melakukan kontrol sosial, disamping memberi hiburan, pendidikan dan masih ada beberapa hal lainnya.
Awak media tidak boleh merasa lelah menyampaikan, mewartakan dan mengeritisi apa yang terjadi di lingkungannya. Meski terasa pahit, katakan pahit. Moga-moga pahitnya itu sebagai obat untuk menyembuhan.
Sayangnya, obatnya juga belum mujarab. Itu bisa dimengerti karena penyakit yang diderita ini adalah sekumpulan orang yang berhimpun dalam satu kesatuan dalam sebuah lembaga atau institusi.
Ah, daripada mutar-mutar berceloteh, mengapa tidak sebut langsung saja. Bukankah dalam prinsip jurnalis adalah: singkat, padat, jelas dan ekonomi kata.
Di kementerian itu, awak media seperti mengalami kelelahan mengeritisi pekerja penjaga moral negeri ini. Bisa jadi lantaran awak media massa di Kemenag memang sudah tak diberdayakan lagi. Wartawan datang ke gedung Kemenag tatkala acara jumpa pers, wujud dari upaya peran Humas untuk membangun citra positif kementerian.