Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jangan Samakan Kartini Pasar Kramat Jati dengan yang Lain

22 April 2017   19:43 Diperbarui: 23 April 2017   04:00 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelayanan sarapan pagi untuk pedagang Kramat Jati (Foto.Dokpri)

Menyaksikan aktifitas para pedagang di kawasan Pasar Kramat Jati, jangan samakan tertawa wanita di sini dengan tawa wanita genit yang mabuk keluar dari diskotik.

Pada malam hari, kartini-kartini berusia senja terdengar menembang, mengisi sepinya batin diri di tengah ramainya lalu lalang mobil angkot dan motor pada malam hari.

Entah apa yang disampaikan dalam tembang tersebut. Kadang nada suaranya meninggi dengan logat Jawa. Tiba-tiba terhenti dan diselingi suara tawa lantaran rekan sebayanya berteriak.

Pedagang yang tak punya kios berjualan di tepi jalan
Pedagang yang tak punya kios berjualan di tepi jalan
Suasana keramaian malam makin menjadi karena munculnya orang tua berusia lanjut ikut nimbrung dalam kegembiraan bersama.

Di tempat lain, tak jauh dari situ, terdengar musik dangdut. Kadang lagu-lagu bernada tak senonoh disambut tawa sambil joget para pedagang dengan komentar mesum. Sesama pedagang tertawa menambah suasana menjadi lebih hiruk-pikuk dengan ditingkahi rayuan gombal kepada gadis muda yang tengah melayani pembeli.

Ya, mereka adalah para pedagang. Pria tua, lelaki muda bujangan hingga wanita jomblo serta berusia lanjut terlihat begadang setiap hari sebagai pedagang sayur di kawasan itu. Dari hari ke hari hingga hitungan tahun ke tahun, mereka itu seolah sudah menjadi komunitas tersendiri.

Tanpa organisasi pun mereka seolah punya ikatan batin, bahwa mereka setiap malam hari harus mengerahkan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara menjual sayuran di pinggir jalan.

“Kita di sini bukan mencari segenggam berlian. Tapi, ya, mencari segenggam nasi untuk menyambung hidup. Menghidupkan anggota keluarga, termasuk menyekolahkan anak dan berobat keluarga di kampung,” ungkap Ummi Nurul, wanita asal Madura yang sudah berdagang di kawasan itu selama 10 tahun.

Ia merasa bersyukur dapat berjualan di tepi jalan tersebut. Jika keadaan lagi bagus, seperti malam tahun baru, banyak orang datang membeli ikan. Sekarang lagi model, pergantian tahun diperingati dengan cara membakar ikan, bakar jagung.

“Bukan bakar-bakaran. Apa lagi membakar hati orang sehingga teman jadi marah,” ujar Ummi dengan nada humor yang disambut rekannya sambil senyum.

Ummi sama dengan beberapa rekannya tiap hari begadang menggelar ikan-ikan segar yang diperoleh dari suaminya. Ikan diperoleh dari Muara Angke, yang dibeli pada sore hari. Malam hari sudah sampai di kawasan itu. Ikan yang dijual relatif masih segar.

Ibu Aziseh juga demikian. Ia berdagang di kawasan itu lebih dari 10 tahun. Dulu, lokasinya agak dekat dengan jalan raya. Sekarang mundur, karena jalannya sudah dirapikan. Orang yang jalan kaki masih bisa lewat.

Dari sejarahnya, Pasar Kramat Jati berdiri tahun 1971, pada era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Di pasar tersebut ada 10 blok dengan ribuan kios, berdiri di atas lahan sekitar 14,7 hektar dengan luas bangunan sekitar 83, 605 meter persegi.

Pasar Induk Kramat Jati merupakan pasar yang penting bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Di tengah maraknya pembangunan pusat perbelanjaan serta pasar swalayan, Pasar Kramat Jati masih tetap bertahan hingga sekarang.

Bahkan, hingga kini, para pedagangnya makin bertambah. Terutama pada malam hari yang menjual dagangannya di sepajang jalan tersebut.

Tak punya kios, jualan di tepi jalan
Tak punya kios, jualan di tepi jalan
Manjaga marwah

Sulit dihitung berapa banyak para pedagang Kramat Jati jika pada malam hari. Berapa banyak wanitanya dan berapa pria. Jika pada saat Ramadhan lebih banyak lagi.

Munurut Jubaidah, “kartini” asal Purwakarta, Jawa Barat ini, hal itu tergantung kondisi di daerah. Jika pada musim panen, bisa jadi pedagang lebih memprioritaskan kerja di kampung.

Sama halnya seperti kota Jakarta, pertambahan penduduk terjadi pada siang hari lantaran banyak pekerja berasal dari Tangerang, Bogor dan Bekasi.

Jubaidah adalah penjual nasi gendong pagi. Ibu beranak dua ini melayani kebutuhan perut para pedagang di kawasan itu.

Ia membuka lapak di tempat  bersih dibandingkan lokasi lain. Lumayan. Nampaknya, minat menikmti makanan yang dijual cukup enak: ada semur, lauk-pauk gorengan ikan dan sayur nagka.

Persiapkan dagangan
Persiapkan dagangan
Jubaidah mengaku tak bergadang seperti wanita lain disitu. Tetapi memasak dan belanja di kawasan yang sama untuk dibawa pulang, lantas diolah di rumah. Setelah beres, dagangannya kemudian dibawa pada pagi hari ke pasar Kramat Jati.

“Setelah shalat subuh, barulah saya berangkat ke Pasar Kramat Jati,” ungkapnya.

Kramat Jati, menurut dia, adalah pasar tradional bermartabat untuk mencari nafkah. Sebab, menurut wanita lulusan SD ini, semua yang diperoleh dengan cara halal. Bukan nakal, seperti: mencuri atau memperdaya orang lain. Apa lagi menggoda lelaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun