Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah A Hok Belajar di Perguruan Kung Fu Angin Ribut

30 Maret 2017   13:40 Diperbarui: 30 Maret 2017   13:58 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perguruan Kung Fu Angin Ribut (Dokpri)

Namanya Hok Kai Bun, namun entah mengapa ia lebih akrab dipanggil A Hok. Bukan Ahok, panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta yang belakangan ini tengah bertarung memperebutkan jabatan orang nomor satu di provinsi ini.

A Hok, kelahiran Betawi pinggiran ini, kini makin lihai memainkan pedang karena sudah lulus dari Perguruan Kung Fu Angin Ribut. Di perguruan bela diri itu memang diajari teknik mengenakan pedang seperti atlet wushu. Tetapi kini ia sadar bahwa di zaman modern ini baginya tidak terlalu penting lagi mengenai kemahirannya itu.

Apa pasalnya? Ya, karena yang dibutuhkan pada zaman reformasi ini bukan lagi pada kemahiran mengaktualisasikan seni bela diri dari negara Tirai Bambu, Cina, itu. Tetapi keharusan menghayati dan mengamalkan tujuan dari belajar kung fu yang menjadi perhatian dewasa ini.

Sepandai-pandainya tupai meloncat, sekali waktu akan jatuh juga. Orang sejago apa pun, biar dia pandai silat, kung fu dan ilmu bela diri segudang, pasti ada batas kemampuannya. Bisa jadi dia mati ditembak, mati dikeroyok banyak orang. Atau mati konyol ketabrak bajaj ketika nyebrang jalan raya lantaran tidak berhati-hati. Bisa pula mati mendadak karena serangan jantung.

Banyak orang mati dengan berbagai cara. Tergantung dari amal perbuatan dan kebiasaan dari kehidupannya sendiri.

Karena itu, kung fu yang dipelajari di Perguruan Kung Fu Angin Ribut tidak lagi dijadikan sebagai gagah-gagahan di kampungnya, kawasan pinggiran Betawi, seperti tempo doeloe.

“Masa jago-jagoan sudah berakhir,” bisiknya dalam hati.

Patung Gus Dur di Perpustakaan Gus Dur TMII (Dokpri)
Patung Gus Dur di Perpustakaan Gus Dur TMII (Dokpri)
A Hok pun melamun. Duduk termenung di kursi taman yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Ia memikirkan dirinya, hendak kemana tujuan hidup ini. Tubuhnya yang tinggi sekitar 170 Cm dan berperawakan atletis itu tanpa disadarinya gemetar. Wajahnya yang bersih putih dibasahi keringat. Pakaian kung fu pun yang dikenakan basah karena keringat mengucur di punggung dan dadanya yang bidang.

Bisiknya dalam hati, orang jagoan bukan dilihat dari kuatnya fisik. Ganteng saja belum cukup. Juga tak jaminan pendidikan tinggi bisa jadi jagoan seperti para sheriff, tokoh penegak hukum dan pelindung warga dari aksi brutal para koboi di negeri Paman Sam sana.

Banyak orang pandai, ujungnya jadi penipu. Mengakali orang banyak dan memanfaatkan jabatan untuk korupsi. Orang pandai lihai memainkan lidah dan bersilat lidah dengan lawan bicara. Tutur kata manis, ujungnya mengibuli orang banyak yang akhirnya melahirkan watak pengemis.

Jadi, jagoan yang masuk kriteria A Hok adalah jujur, berani, tegas, ganteng perlu, pandai juga masuk kriterianya meski tidak ditentukan dari tingginya gelar yang diperoleh.

Kuat bukan dari ukuran fisik badan seseorang, tetapi kemampuan mengelola emosi. Kesabaran menjadi penentu menuju keikhlasan dalam membela orang banyak.  Tak kalah penting adalah memiliki kemampuan menyakinkan orang untuk berbuat baik. Baginya, mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari menjadi hal penting tanpa harus gembar-gembor.

Agama hadir di kolong langit ini bukan untuk merusak bumi seisinya. Apa lagi untuk menyakiti sesama. Kedamaian bagi sesama insan, toleransi dan kebersamaan dalam wujud gotong royong, musyawarah dalam menyelesaikan perkara sayogyanya hadir di tengah masyarakat.

Di Perguruan Kung Fu Angin Ribut, pikir A Hok, ajaran semua itu sudah disampaikan.  Apa lagi pesan-pesan ulama dan pemuka masyarakat sudah sering didengarkan ketika tokoh agama hadir di tengah para murid yang tengah berlatih.

Belakangan ini A Hok makin sedih jika mengaitkan pikirannya itu dengan ucapan para tokoh agama dalam suasana negeri gaduh. Atas nama demokrasi, agama dijadikan instrumen politik. Ajaran agama tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, Lebih sedih lagi, kebencian dikemas sedemikian rupa dan dipamerkan di hadapan orang banyak. Mencela dan memfinah melalui berita hoax jadi konsumsi sehari-hari yang disuguhkan melalui media sosial.

Untuk menguatkan keyakinan dan pandangannya, lantas A HokHok bertandang ke perpustaaan Gus Dur – sapaan akrab K. H. Abdurrahman Wahid - di sebuah taman kecil. Di situ, banyak kata mutiara yang patut diaktualisasikan dalam kehidupan nyata dewasa ini, yaitu:

 "Tidak penting apa pun agama atau sukumu... Kalau kamu bisa melakukan sesuatu. Yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamanya."

"Mari kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali."

 "Inilah makna sebenarnya dari semboyan nasional: Bhinneka Tunggal Ika, yaitu PERSATUAN dan KEBERAGAMAN."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun