Boleh jadi kini gerakan mengaji tinggal dalam kenangan. Padahal gerakan ini sangat penting. Awalnya dikenal sebagai gerakan maghrib mengaji yang dicanangkan Kementerian Agama, tepatnya pada Sabtu 2013 silam.
Gerakan tersebut dilatarbelakangi rasa prihatin di kalangan orang tua karena jarangnya anak-anak yang mengaji Qur'an. Dengan gerakan terebut diharapkan dapat memotivasi para orang tua untuk menyuruh anaknya salat Maghrib dan mengaji di waktu Maghrib.
Gerakan tersebut dimaksudkan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang telah dilakukan sejak dulu. Jika direnungkan, rasanya memang baru kemarin kebersamaan dalam menempa ilmu dasar agama "mengaji AI-Qur'an" pada saat Maghrib sampai menjelang waktu Isya tiba. Semua mushola dan masjid terasa hangat dengan lantunan bacaan AIQur'an. Tradisi tersebut saat ini telah hampir hilang dan punah di telan waktu.
Harus diakui, pengaruh media sosial – internet dan televisi dengan tayangan komersial telah banyak mengubah pola pikir anak-anak.
Menyaksikan anak mengaji saat Maghrib kini sulit untuk dijumpai. Di kawasan Jakarta hampir setiap mushola dan masjid tidak lagi melakukan kegiatan tersebut. Tradisi mengaji tersebut saat ini hampir hilang dan punah di telan waktu. Realitas tersebut sesungguhnya menjadi tantangan bagi para orang tua saat ini.
Memang harus diakui degradasi moral tak melulu disebabkan pengaruh globaliasi. Juga akibat dari kemunduran ataupun keterpurukan dan keterbelakangan umat Islam di berbagai bidang kehidupan karena  semakin jauhnya dari ruh dan pesan AI-Quran.
Tradisi mengaji AI-Quran seusai salat Maghrib yang dulu banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia, kini semakin tergerus oleh kebiasaan menonton televisi. Sekarang ini, pada waktu Maghrib anak-anak dan orang dewasa lebih suka menonton televisi daripada mengaji AI-Qur'an.
Kebiasaan mengaji setelah shalat Ashar dan Maghrib seringkali dikalahkan oleh tayangan televisi atau telepon seluler. Dengan Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji, diharapkan dapat  mengembalikan identitas masyarakat muslim Indonesia yang kian pudar dan luntur digerus arus globalisasi.
Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji, sejatinya merupakan salah satu upaya untuk mencintai dan melestarikan kembali tradisi dan kultur masyarakat dalam konteks ke-Islaman dalam keIndonesiaan.
Bersyukurlah. Dalam suasana yang memprihatinkan, ada seorang ibu di pinggir Jakarta menarih perhatian besar terhadap pendidikan membaca Al-Quran. Dia adalah Mis Dewi yang bermukim di pinggir wilayah Jakarta. Tepatnya, lokasinya hanya sekitar 3 km dari wilayah Jakarta Barat. Ia berdomisili Jalan Haji Koneng, Â Ketapang, Cipondoh, Tangerang, Banten.
Puluhan anak-anak usia dini mengaji dengan Mis Dewi yang memiliki latarbelakang pendidikan pondok pesantren. Banyak orang tua mengirim anak-anaknya belajar mengaji di kediamannya. Meski waktu belajar tak mengikuti tradisi seusai magrib, tetapi animo anak-anak belajar kepadanya sungguh luar biasa.
Di kawasan ini pula banyak anak belajar Al Quran, khususnya para santri dari Pondok Pesantren Daarul Quran. Kadang terlihat anak-anak berada di bawah pohon atau pelataran parkir tengah menghafal Al Quran.
Asyik menyaksikan tingkah laku anak-anak mengaji Al Quran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H