Pers Indonesia sejak negeri ini merdeka jika dilihat dari usianya memang tergolong dewasa, tetapi itu bukan ukuran karena dalam perjalanannya godaan syahwat politik dan modal ikut mewarnai di dalamnya.
Media massa: cetak, elektronik dan media sosial penting diberi pencerahan bahwa proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak harus dapat berjalan jujur, adil, bebas dan rahasia.
Pers tidak lagi dapat dipandang sebagai ratu dunia. Pada era tahun 1970-an, jika harga daging diberitakan Rp10 ribu per kg, maka pembaca mempercayainya karena ketika pembeli berbelanja di pasar tradisional, isi berita sama dengan realitas di lapangan.
Tetapi kini tak lagi demikian. Jika koran berisi berita suatu wilayah aman belum tentu di daerah bersangkutan terbebas dari pembegalan. Kondisi di lapangan demikian dinamis. Artinya, kini isi koran atau media massa tak lagi dapat dipercaya sepenuhnya.
Bila ada wartawan memuji, belum tentu publik ikun memuji. Jika isi koran memaki, belum tentu publik ikut menghujat. Bisa jadi sebagian masyarakat yang tak suka isi berita memuat kebencian mengajukan tuntutan berupa somasi.
Pembaca media massa kini makin pandai dan kritis. Termasuk dalam menyikapi pemberitaan media sosial yang kini demikian dahsyat isi beritanya terkait dengan Pilkada. Melalui Medsos, publik pun dapat memanfaatkan ruang terbuka melakukan interaksi dua arah.
Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis itu, pernah membanggakan kekuatan pers. Menguasai media massa (pers) maka negara bersangkutan dapat memenangkan peperangan. Dalam konteks kekinian, celoteh Napoleon memang masih punya daya pikat bahwa pers masih dapat ditingkatkan fungsinya sebagai sarana pendidikan, hiburan dan pengawasan.
Sejatinya, awak media atau jurnalis itu adala mata dan telinga pembaca (publik). Ia menjadi pencatat sejarah yang menyangkut kepentingan umum dan public figur (petinggi).
Belakangan awak media dipersepsikan sebagai penguasa, pengendali arus informasi. Pers ikut campur dalam menentukan persoalan apa yang dirasakan penting di dalam masyarakat. Karena itu, pers yang bekerja secara profesional ikut memikirkan kepentingan publik, harus mampu mengarahkan agar publik dapat menyikapi sebuah masalah dengan bijak. Maka, dibuatkan agenda media atau lebih populer dengan sebutan agenda setting.
Media dalam pelaksanaan Pilkada penting mengambil posisi independen, mendidik publik dan memberi nasihat dalam berbagai persoalan. Namun publik pun harus menyadari bahwa wartawan profesional sepenuhnya terpulang dari wartawan itu sendiri, apakah ia menguasai betul teknik jurnalistik, paham bidang liputannya, dan menaati kode etik.
Dalam Pilkada, tidak mustahil muncul wartawan perusak citra insan pers, menjadi pemeras, pencari ‘amplop’, gadungan, bodreks atau menyalahgunakan profesinya. Semua itu bukan wartawan profesional.

Hindari membuat berita seperti menggelontarkan air dari ember. Atau menjadi penyampai informasi seperti tape recorder. Pers profesional bekerja mengindahkan kode etik dan menyaring "celoteh" yang dapat merusak kerukunan umat. Terutama menyangkut suku, agama, ras dan antargolongan atau SARA.
Jelasnya, wartawan perusak citra insan pers harus diberantas. Memberantas wartawan amplop sama artinya dengan mendukung Pemerintah Jokowi-JK yang kini tengah giat memberantas pungutan liar (Pungli) di Tanah Air.
Saat menghadiri acara HUT LKBN Antara ke-77 di Wisma Antara (18/12/2014), Jokowi menyebut: "Media boleh tajam, tapi tetap mendidik, bukan tajam yang melukai, bukan tajam yang menusuk, media boleh menggigit tapi jangan melukai."Â
Pers semakin terbuka dalam hal pemberitaan. Namun di sisi lain juga harus disadarkan harus ada penyelesaian masalah terhadap apa yang diberitakan.
"Menggigit tapi yang mendidik, bukan yang melukai, bukan mendidik yang membuat berdarah," katanya.
Menghadapi Pilkada serentak pada 2017, terutama Pilkada DKI yang menjadi barometer pelaksanaan demokrasi di Indonesia, pimpinan Antara mulai Dirut LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat dan Direktur Pemberitaan Aat Surya Safaat telah menginstruksikan wartawan dan redakturnya di seluruh Indonesia untuk berpegang pada kode etik jurnalistik, tidak menyiarkan tulisan/berita/foto yang bersifat memojokan satu golongan atau kelompok tertentu yang dikategorikan sebagai fitnah, black campaign atau pembunuhan karakter.
Direktur Pemberitaan Antara pun minta agar wartawannya menghindari berbagai pandangan yang didasarkan pada sentimen identitas, menyangkut SARA. Menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian, berimbang, dan keadilan dengan tetap memperhatikan unsur kecepatan.Â
Pemberitaan pun harus netral (tidak memihak, kecuali pada kebenaran). Pemberitaan independen (tidak tergantung pada pihak lain atau kelompok) tertentu serta tidak bisa ditekan oleh pihak manapun, kecuali mengikuti kebijakan redaksi.
Berita harus disajikan dengan gaya bahasa yang santun, memberikan edukasi, pencerahan dan pemberdayaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonsia NKRI).
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Jakarta, 23 Oktober 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI