Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pilkada, Godaan SARA dan Kritik bagi Awak Media

23 Oktober 2016   09:38 Diperbarui: 23 Oktober 2016   19:34 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pers Indonesia sejak negeri ini merdeka jika dilihat dari usianya memang tergolong dewasa, tetapi itu bukan ukuran karena dalam perjalanannya godaan syahwat politik dan modal ikut mewarnai di dalamnya.

Media massa: cetak, elektronik dan media sosial penting diberi pencerahan bahwa proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak harus dapat berjalan jujur, adil, bebas dan rahasia.

Pers tidak lagi dapat dipandang sebagai ratu dunia. Pada era tahun 1970-an, jika harga daging diberitakan Rp10 ribu per kg, maka pembaca mempercayainya karena ketika pembeli berbelanja di pasar tradisional, isi berita sama dengan realitas di lapangan.

Tetapi kini tak lagi demikian. Jika koran berisi berita suatu wilayah aman belum tentu di daerah bersangkutan terbebas dari pembegalan. Kondisi di lapangan demikian dinamis. Artinya, kini isi koran atau media massa tak lagi dapat dipercaya sepenuhnya.

Bila ada wartawan memuji, belum tentu publik ikun memuji. Jika isi koran memaki, belum tentu publik ikut menghujat. Bisa jadi sebagian masyarakat yang tak suka isi berita memuat kebencian mengajukan tuntutan berupa somasi.

Pembaca media massa kini makin pandai dan kritis. Termasuk dalam menyikapi pemberitaan media sosial yang kini demikian dahsyat isi beritanya terkait dengan Pilkada. Melalui Medsos, publik pun dapat memanfaatkan ruang terbuka melakukan interaksi dua arah.

Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis itu, pernah membanggakan kekuatan pers. Menguasai media massa (pers) maka negara bersangkutan dapat memenangkan peperangan. Dalam konteks kekinian, celoteh Napoleon memang masih punya daya pikat bahwa pers masih dapat ditingkatkan fungsinya sebagai sarana pendidikan, hiburan dan pengawasan.

Sejatinya, awak media atau jurnalis itu adala mata dan telinga pembaca (publik). Ia menjadi pencatat sejarah yang menyangkut kepentingan umum dan public figur (petinggi).

Belakangan awak media dipersepsikan sebagai penguasa, pengendali arus informasi. Pers ikut campur dalam menentukan persoalan apa yang dirasakan penting di dalam masyarakat. Karena itu, pers yang bekerja secara profesional ikut memikirkan kepentingan publik, harus mampu mengarahkan agar publik dapat menyikapi sebuah masalah dengan bijak. Maka, dibuatkan agenda media atau lebih populer dengan sebutan agenda setting.

Media dalam pelaksanaan Pilkada penting mengambil posisi independen, mendidik publik dan memberi nasihat dalam berbagai persoalan. Namun publik pun harus menyadari bahwa wartawan profesional sepenuhnya terpulang dari wartawan itu sendiri, apakah ia menguasai betul teknik jurnalistik, paham bidang liputannya, dan menaati kode etik.

Dalam Pilkada, tidak mustahil muncul wartawan perusak citra insan pers, menjadi pemeras, pencari ‘amplop’, gadungan, bodreks atau menyalahgunakan profesinya. Semua itu bukan wartawan profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun