Tengok kehidupan Pondok Pesantren (Ponpes), kehidupan seorang kyai bagai tukang air yang berkeliling kampung pinggiran wilayah Jakarta Utara dengan gerobaknya. Karena wilayah itu tak terjangkau pipa air Perusahaan Air Minum (PAM) dan air tanahnya terasa asin, maka kebutuhan warga akan air terasa sangat penting. Pedagang air bersih di wilayah itu menerima hasil dengan penuh ikhlas, sekalipun untuk membeli kebutuhan pokok terasa berat.
Sang pedagang air tidak memprotes kepada pembeli dengan mencoba melipatgandakan harga air. Pedagang itu, walau hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan, juga tetap bekerja sebagaimana mestinya. Ia tetap melayani warga yang kesulitan air, meskipun pada suatu saat kebutuhan air bersih tengah meningkat lantaran kemarau panjang.
Kehidupan kyai di Ponpes tak jauh seperti itu. Ia bagaikan mata air yang melayani para santri kehausan. Sang kyai terus menerus memberikan kesejukan kepada para santri tanpa berharap mendapatkan keuntungan. Namun dari santri pulalah sang kyai merasa dirinya menjadi “hidup”. Penyebabnya, para santri telah menjadi motivasi bagi dirinya untuk mencurahkan ilmu yang dimilikinya sehingga menambah keyakinan bahwa hidup harus memberi manfaat bagi orang (santri) dan warga sekitarnya.
Para orang tua kini patut merasa gembira. Pasalnya, santri yang belajar di Ponpes selama 24 jam di bawah pengawasan seorang ulama atau kyai dapat memetik nilai-nilai universal, pesan-pesan adi luhur dan keteladanan dari kyai, ustadz dan ustajah. Lebih dari itu, para santri yang berasal dari berbagai daerah di Bumi Nusantara ini dapat belajar secara langsung tentang kehidupan bertoleransi.
Ponpes secara tidak langsung pula sudah mengenalkan kepada para santrinya tentang berdisiplin bersama dalam kehidupan sehari-hari. Kerja sama tim dan saling sayang menyayangi antarsesama, termasuk pengenalan bermasyarakat.
Sang kyai membuat aturan. Di Ponpes ada santri yang menjadi petugas keliling di malam hari. Selain melaksanakan ronda malam, santri itu juga membangunkan rekan-rekannya untuk shalat malam. Ada kegiatan olahraga, termasuk ilmu jaga diri. Santri sehat jasmani juga bugar secara spiritual.
Setiap Ponpes di Bumi Pertiwi ini memang memiliki ciri khas masing-masing, seperti ada yang memiliki keunggulan bidang pertanian, teknologi, kemaritiman hingga mempelajari kitab kuning yang dirasakan berat bagi generasi sekarang. Tetapi yang jelas, Ponpes kini telah mendapat pengakuan setelah pemerintah memberlakukan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sayangnya, lembaga pendidikan Islam tersebut hingga kini tidak semua kehidupannya menggembirakan. Masih ada Ponpes kehidupannya berjalan terseok-seok, bergantung dari dukungan dana para donatur.
Hal itu dapat dipahami jika ditengok status Ponpes kebanyakan berstatus swasta. Keberlanjutan kehidupan Ponpes sangat tergantung dari peran kyai bersangkutan. Seperti juga para ulama terdahulu, hingga kini kyai yang mengasuh Ponpes bekerja iklhas. Mereka itu tak henti-hentinya mendorong dan memotivasi santri untuk terus meningkatkan kwalitasnya.
Pengakuan pemerintah akan eksistensi santri yang diwujudkan sebagai Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, memberi ketegasan kepada semua pihak bahwa peran santri dan kyai (ulama) di negeri ini telah memberi kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.