Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aroma Mistik Kasus Dimas Kanjeng

14 Oktober 2016   14:52 Diperbarui: 14 Oktober 2016   14:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi beraromakan mistik, menyinggung penyempitan makna makrifat dan karomah yang kemudian bermuara kepada kepalsuan dan penyesatan umat hingga akhirnya aparat harus bertindak.

Para pemuka agama setempat dinilai telah melakukan pembiaran. Padahal, jauh sebelum itu, kasusnya telah dilaporkan kepada pihak berwajib. Jelas-jelas ajaran Dimas Kanjeng menyimpang jauh dari syariat Islam. Belakangan diketahui, lambatnya penanganan kasus tersebut diduga karena pengikut Dimas Kanjeng menggurita di berbagai strata sosial dan institusi.

Dimas Kanjeng ditangkap pada pekan lalu. Dari kasus itu pula, para tokoh agama sempat menengok ke belakang. Mereka menelisik tentang ajaran mistik di Padepokan Dimas Kanjeng. Lalu dikaitkan dengan babad penyebaran agama di Tanah Jawa.

Bila memutar jarum jam ke belakang, yaitu ketika “wali sanga” – berasal dari kata “wali sangha” (kata sangha, berasal dari agama Buddha, artinya kumpulan) – mereka itu (kumpulan pemuka agama) menyebarkan ajaran Islam kepada pengikuitnya dengan didukung “kekuatan” karomah.

Bisa jadi Taat Pribadi memanfaatkan mitos “karomah” yang berkembang di daerah setempat. Penyebaran Islam masuk ke Tanah Jawa memang sarat dengan mistik dan makrifat, khususnya karomah Sunan Kalijaga yang melegenda.

Mistik, dalam istilah keagamaan (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama) dimaknai sebagai ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia sebagai upaya untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa.

Juga, karomah menurut istilah keagamaan adalah fenomena yang luar biasa terjadi pada diri seseorang yang taat kepada Allah dan dicintai-Nya, seperti para wali. Sedangkan makrifah (makrifat) secara sederhana dimaknai sebagai pengetahuan  terhadap sesuatu secara benar dan sebelumnya tidak diketahui.

Karomah Kalijaga

Adalah Adipati Tuban (Jawa Timur), Tumenggung Wilatikta, dikenal pula sebagai Aria Teja (IV) – yang juga merupakan keturunan Aria Adikara (Ranggalawe), salah seorang pendiri kerajaan Majapahit – dalam sejarah tanah Jawa tercatat sebagai raja yang sangat marah sekali dengan puteranya bernama Raden Syahid.

Raden Syahid, atau Sunan Kali (sebutan pendek dari Sunan Kalijaga), merupakan pengganti Syekh Siti Jenar yang dipanggil ke Hadirat-Nya.  Sunan Kali yang semasa kecil dipanggil Raden Syahid itu, sempat memprotes ayahandanya: “Mengapa rakyat Kadipaten Tuban yang hidup sengsara dibuat tambah menderita.”

Pertanyaan Raden Syahid saat itu sangat logis karena rakyat di kawasan kadipaten miskin mengingat pada masa itu kejayaan Majapahit mulai surut dan berdampak pada kehidupan masyarakat setempat, ditambah lagi beban upeti kepada pemerintah pusat. Orang tua Raden tak bisa berbuat banyak, lantaran dia hanya raja bawahan.

Raden Syahid memilih profesi “maling cluring”. Awalnya mencuri gudang makanan lalu dibagikan kepada orang miskin secara diam-diam. Perbuatan itu lambat laun terungkap dan ia tertangkap, lalu diusir dari istana kadipaten.

Profesinya berlanjut. Malah jadi perampok. Harta orang kaya di Tuban tak lepas dari incarannya. Ia kembali tertangkap. Lalu, Raden Syahid diusir dari Kadipaten Tuban. Di luar kabupaten itu, dia pun mengayunkan langkah kakinya ke mana saja, hingga ke tibalah di hutan Jati Wangi. Di situ, Raden melihat lelaki tua (Sunan Bonang). Raden tak kenal siapa sesungghuhnya orang tua itu dan hendak dibegalnya pula.

Raden Syahid yang mahir silat itu minta kepada Bonang untuk menyerahkan bekal yang dibawanya. Termasuk tongkat berkilau yang dipegangnya. Ia menyatakan bahwa perbuatan merampok itu dimaksudkan untuk membantu orang miskin.

Kisah pertemuan Raden Syahid dan Sunan Bonang ini – yang dikisahkan oleh Achmad Chodjim, dalam buku Mistik dan Makrifat – membawa Raden Syahid sebagai murid spiritual dari Sunan Bonang. Raden Syahid tercerahkan hidupnya, ia pun menyadari bahwa perbuatannya yang tampak baik (mulia) tapi tetap sebagai perbuatan salah.

Sang murid, Raden Syahid, diperintahkan tetap berada di tepi sungai sampai sunan menemuinya kembali. Syahid tetap bersemedi di tepi kali sampai sang Sunan Boang kembali. Hal ini sebagai kepatuhan dalam ajaran makrifat. Sikap tunduk dalam berguru spiritual.

Singkat cerita, Raden Syahid ditemui sang guru di tepi kali saat semak-semak di sekitar sudah meninggi hingga menyulitkan Sunan Bonang mencarinya. Berikutnya, Sunan Bonang menggembleng Raden Syahid dengan ilmu-ilmu agama dan spiritual kepadanya.

Selain berguru dari Sunan Bonang, Raden Syahid – yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga – juga belajar ke Pasai dan berdakwah di Semenanjung Malaya hingga Patani, Thailand Selatan. Di sini Raden Syahid dikenal sebagai tabib. Dan dengan karomah pemberian Allah, ia mampu mengobati sakit kulit Raja Patani. Raden Syahid di sini dikenal sebagai Syekh Malaya.

Dimas Kanjeng Raja Anom

Berbeda dengan Sunan Kalijaga, yang meninggalkan dunia kejahatan dan kemudian menjadi orang dimuliakan di Tanah Jawa,sebalikya Dimas Kanjeng mabuk atribut kebesaran. Sebelum dinobatkan menjadi raja, ia sempat mengklaim sebagai Tuhan melalui ajarannya yang disebutnya Kun Fayakun.

Seperti diketahui ayat tersebut (Kun Fayakun) tercantum dalam beberapa surah, Yaitu: Al Baqarah: 117, An Nahl: 40, Yaasiin: 82, Al An'aam: 73,  Al Mu'min: 68,  Maryam: 35,  Ali 'Imran: 47, Ali 'Imran: 59. Meski pernyataan itu kemudian dibantah, tetapi tetap saja mengangkat terminologi Alquran untuk menyesatkan umat sangat dimurkai Allah.

Taat Pribadi memperoleh gelar raja dari Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI). Senin, 11 Januari 2016. Ia diangkat menjadi Raja Anom dengan gelar Sri Raja Prabu Rajasa Negara. Raja Anom adalah jabatan kebangsawanan yang turun temurun didapatkan oleh raja-raja Majapahit.

Gelar raja, sebutan Taat Pribadi berikutnya itu diarahkan untuk menambah “kewibawaan”. Tentu disertai maksud untuk menarik pengikut padepokannya.  Jumlah pengikut banyak berarti uang mahar melimpah masuk. Belum lagi diiming-imingi “pat-gulipat” sulap penggandaan uang yang dikemas beraroma mistik.

Disayangkan, ketika umat (pengikut Dimas Kanjeng) terjermus sesat, kehilangan materi dalam jumlah besar, tertipu pengadaan uang, masih saja ada pembelaan.

Marwah Daud sebagai Ketua Yayasan Padepokan Dimas Taat Pribadi, menyebut, para santri (pengikut) Padepokan Dimas Kanjeng masih tetap setia kepada pimpinannya. Dan, siapa pun tak berhak memberi label kepada para pengikut kanjeng sebagai orang musyrik, yaitu melakukan perbuatan menyekutukan Allah.

Padahal, kriteria ajaran sesat sudah jelas: pengikut Dimas Kanjeng punya motivasi lain dalam beribadah (ingin kaya dari hasil penggandaan uang), menggunakan benda (jimat) yang dianggap punya kekuatan selain kuasa Allah, memelencengkan makna istighosah,  diisi dengan  shalawat “fulus”. Shalawat yang tidak pernah diajarkan para mualif (pencipta shalawat) dan jelas menyimpang. Sementara ajakan para tokoh agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar para pengikutnya kembali kepada syariat (Islam), tidak ditanggapi.

Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi menilai munculnya kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi karena kegelisahan rohani dan kesulitan ekonomi masyarakat.

"Coba dipikir, kalau memang seseorang bisa menggandakan uang, mengapa tidak uang sendiri saja yang digandakan,” katanya pengajian akbar di Alun-Alun Kota Magelang, Kamis (13/10) malam.

Penggandaan maupun pengadaan uang itu kasus kriminal dan harus diselesaikan secara hukum. Penggandaan uang akan mempengaruhi moneter dalam negeri karena jumlah uang yang beredar tidak seimbang.

Kalau pengadaan, uang itu milik siapa. Kalau digeser tempatnya berarti penipuan. Masyarakat penting diberikan bimbingan bahwa usaha yang tidak masuk akal itu jangan dituruti.

Model-model seperti itu sudah banyak, cuma bentuknya lain-lain, ada yang seperti perusahaan emas, mereka mengumpulkan uang, tetapi emasnya tidak ada dan hanya diberi sertifikat tentang emas.

Kasus Dimas Kanjeng terbongkar setelah dua mantan santri yang menjadi orang dekatnya: Abdul Gani dan Ismail dibunuh yang diduga atas perintah ketua padepokan itu. Ismail dibunuh lantaran berniat membuka kedok Dimas Kanjeng yang mengantarkan peti berisi uang ke kediaman Marwah Daud. Belum lagi laporan warga yang mengalami kerugian karena menyerahkan mahar untuk penggandaan (pengadaan) uang.

Kini sekitar 3 ribu pengikut padepokan itu mulai meninggalkan Dusun Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Mereka itu adalah orang yang tengah “sakit”: ingin cepat kaya dan tamak. Perlu pelurusan akidah.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa telah minta aparat setempat untuk memastikan pengikut Dimas Kanjeng untuk tidak kekurangan makanan.

Mereka jangan sampai kelaparan. Bagi pengikut Dimas Kanjeng yang ingin kembali ke kampung halamannya, pemerintah setempat pun harus memberi bantuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun