Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aroma Mistik Kasus Dimas Kanjeng

14 Oktober 2016   14:52 Diperbarui: 14 Oktober 2016   14:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi; Dimas Kanjeng ditangkap oleh hasil penggandaannya (Foto/WaBramono)

Gelar raja, sebutan Taat Pribadi berikutnya itu diarahkan untuk menambah “kewibawaan”. Tentu disertai maksud untuk menarik pengikut padepokannya.  Jumlah pengikut banyak berarti uang mahar melimpah masuk. Belum lagi diiming-imingi “pat-gulipat” sulap penggandaan uang yang dikemas beraroma mistik.

Disayangkan, ketika umat (pengikut Dimas Kanjeng) terjermus sesat, kehilangan materi dalam jumlah besar, tertipu pengadaan uang, masih saja ada pembelaan.

Marwah Daud sebagai Ketua Yayasan Padepokan Dimas Taat Pribadi, menyebut, para santri (pengikut) Padepokan Dimas Kanjeng masih tetap setia kepada pimpinannya. Dan, siapa pun tak berhak memberi label kepada para pengikut kanjeng sebagai orang musyrik, yaitu melakukan perbuatan menyekutukan Allah.

Padahal, kriteria ajaran sesat sudah jelas: pengikut Dimas Kanjeng punya motivasi lain dalam beribadah (ingin kaya dari hasil penggandaan uang), menggunakan benda (jimat) yang dianggap punya kekuatan selain kuasa Allah, memelencengkan makna istighosah,  diisi dengan  shalawat “fulus”. Shalawat yang tidak pernah diajarkan para mualif (pencipta shalawat) dan jelas menyimpang. Sementara ajakan para tokoh agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar para pengikutnya kembali kepada syariat (Islam), tidak ditanggapi.

Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi menilai munculnya kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi karena kegelisahan rohani dan kesulitan ekonomi masyarakat.

"Coba dipikir, kalau memang seseorang bisa menggandakan uang, mengapa tidak uang sendiri saja yang digandakan,” katanya pengajian akbar di Alun-Alun Kota Magelang, Kamis (13/10) malam.

Penggandaan maupun pengadaan uang itu kasus kriminal dan harus diselesaikan secara hukum. Penggandaan uang akan mempengaruhi moneter dalam negeri karena jumlah uang yang beredar tidak seimbang.

Kalau pengadaan, uang itu milik siapa. Kalau digeser tempatnya berarti penipuan. Masyarakat penting diberikan bimbingan bahwa usaha yang tidak masuk akal itu jangan dituruti.

Model-model seperti itu sudah banyak, cuma bentuknya lain-lain, ada yang seperti perusahaan emas, mereka mengumpulkan uang, tetapi emasnya tidak ada dan hanya diberi sertifikat tentang emas.

Kasus Dimas Kanjeng terbongkar setelah dua mantan santri yang menjadi orang dekatnya: Abdul Gani dan Ismail dibunuh yang diduga atas perintah ketua padepokan itu. Ismail dibunuh lantaran berniat membuka kedok Dimas Kanjeng yang mengantarkan peti berisi uang ke kediaman Marwah Daud. Belum lagi laporan warga yang mengalami kerugian karena menyerahkan mahar untuk penggandaan (pengadaan) uang.

Kini sekitar 3 ribu pengikut padepokan itu mulai meninggalkan Dusun Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Mereka itu adalah orang yang tengah “sakit”: ingin cepat kaya dan tamak. Perlu pelurusan akidah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun