Bagai bola salju. Begitulah mencermati kasus Ahok, sapaan akrab Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, yang sekali ini terjerembab berawal dari keplesetnya karena menyebut surat Al-Maidah, pada suatu pertemuan di Kepulauan Seribu, Jakarta.
Ahok sebelumnya tergolong getol menggunakan terminologi Islam seperti sidik, fatonah, tablig dan amanah ketika tampil di atas podium terkait upayanya memerangi tindakan korupsi di lingkungan birokrasi Pomda DKI Jakarta.
Tetapi sekali ini ia terpeleset dengan lidahnya sendiri. Bisa jadi karena ucapannya itu ia ke depan bakal terjerembab. Apakah bisa bangun lagi atau tidak. Hanya Tuhan yang tahu.
Kasus Ahok terkait ucapannya dengan surat Al-Maidah itu sekarang ini tergambar bagaikan percikan api yang kecil, tetapi dapat menghanguskan bangunan besar. Namanya saja api.
Tetapi yang jelas, semua orang jadi sibuk: mengomentari, menganalisis, mencaci hingga pembelaan demi suksesnya Pilkada berlangsung lancer dan Luber Jurdil: memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Bisa pula kasus tersebut dapat menggelinding bagai bola salju. Kini dinantikan penyelesaian secara komprehensif sehingga atmosfir “pemanasan” menjelang Pilkada dapat tercipta dalam kondisi kondusif.
Manusia memang tidak dapat steril dari dosa. Setiap insan tidak bisa lepas dari perbuatan salah. Kalimat ini banyak dihafal, tetapi ketika menghadapi dosa orang lain dipandanginya demikian besar. Pernahkah setiap individu selalu tiap hari, tiap jam dan detik mengevaluasi dirinya bahwa ia melakukan perbuatan jauh lebih besar dosanya daripada orang yang dinilainya selalu berbuat kesalahan dan dosa.
Kasus Ahok memang tidak lagi dapat dipandang sebagai perbuatan seseorang selip lidah. Lidah keseleo atau salah mengucap di hadapan ranah publik. Apalagi jika di tengok ke belakang, pria asal Bangka Belitung ini kerap kata-katanya menuai pro dan kontra. Bisa jadi ketika itu Ahok tengah mempersonifikasikan dirinya sebagai centeng Betawi. Dalam perspektif sejarah Betawi, centeng dimaknai sebagai jongos. Penjaga gudang, mandor kebun atau gedongan pemilik para orang kaya pada zaman Kolonial Belanda.
Tapi, sejatinya Ahok adalah Ahok. Ia tampil apa adanya, tak terpengaruh dengan lingkungan apa kata orang. Ia bicara dengan logat Betawi rada kasar, kadang kotor. Untuk menjaga etika, orang menyebutnya ucapan Ahok keluar dari mulutnya dengan bahasa toilet. Bukan mengambil dari bahasa Betawi, yaitu kakus atau jamban. Kadang pula saking kasarnya, bagi kalangan orang Betawi sendiri yang mendengar, terasa ngeri. Sebab, melanggar kesantunan. Sayangnya, manusia seperti Ahok itu tak dapat dibendung hasrat dan nafsunya itu.
Kini kasus Ahok telah memancing kebencian orang banyak kepada dirinya. Meminjam istilah Tjahyo Kumolo, mulutmu adalah harimaumu. Meski ungkapan dari Mendagri itu adalah ungkapan "jadul", tetapi masih terasa aktual bagi siapa pun. Ungkapan itu merupakan nasihat: berhati-hati berucap jangan sampai terjerembab karena perbuatan (ucapan) sendiri.
Kebencian kepada Ahok ditandai reaksi organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam dengan unjuk rasa. Substansinya, mereka menuntut Ahok segera diproses secara hukum meski ia sudah meminta maaf kepada masyarak atas ucapannya mengenai surat Al-Maidah 51.
Ahok akan menghadapi tekanan berat dalam beberapa hari ke depan. Para ulama, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), sudah menyatakan sikap bahwa kasus itu harus dibawa ke ranah hukum. Posisi Ahok kini bagai "telur di ujung tanduk" terkait kedudukannya sebagai calon gubernur DKI pada Pilkada Februari 2016. Bisa dimaklumi, lawan-lawan politik Ahok akan memberi "tekanan" dengan instrumen dari kasus itu.
Meski para calon lawan tanding Ahok-Djarot Saiful Hidayat: Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Agus Yudhoyono-Sylviana Murni belum terlihat memainkan kasus ini untuk memetik "point" atau keuntungan dari sisi pencitraan, tetapi yang jelas para penegak hukum dan para menteri di jajaran Kabinet Kerja pimpinan Presiden JokoWidodo (Jokowi) dibuat repot. Bagusnya, Ahok masih diuntungkan posisinya sampai saat ini lantaran lawan politiknya tidak "menari di atas gendang" pada kasus itu.
Kasus Ahok akan menyedot perhatian, setidaknya jajaran penegak hukum (polisi), Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama (Kemenag) dan MUI.
Mengapa demikian? Jelas saja, wilayah sensitif di negeri ini adalah suku, agama, ras dan antargolongan atau SARA. Harus diingat bahwa para pendiri bangsa ini jauh hari sering mengingatkan tentang hal ini terkait pentingnya menjaga kesatuan dalam NKRI. Memainkan isu agama, dengan segala multi tafsirnya menyeret disintegrasi.
Lihat kasus Ambon, kasus konflik antaretnis di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Belum lagi kasus rumah ibadah di Papua dan Aceh yang masih kuat melekat di ingatan publik. Saat konflik, betapa besarnya perhatian para menteri untuk meredamnya. Mereka turun ke lapangan. Tidak mustahil pula, jika aparat penegak hukum tak memberikan respon dengan cepat dari kasus "keplesetnya" Ahok di Pulau Seribu dapat berdampak buruk bagi pemangku kepentingan di negeri ini.
Negeri ini dibangun tidak oleh Ahok semata. Masih ada Ahok lain dari Pantai Indah Kapuk atau dari Singkawang yang berperilaku baik. Bisa jadi Ahok yang ada di Tanjungbalai, Kepri dan Medan marah jika melihat duduk soalnya. Ikan sepat ikan gabus, makin cepat makin bagus. Daripada menanti-nanti nggak puguh, lebih bagus cepat-cepat kasus itu diselesaikan.
Tidak mustahil pasca Ahok dilapori kepihak kepolisian, para ulama sudah menjalin silatirahim. Mudah-mudahan pertemuan mereka itu membuahkan hasil yang positif, tidak malah memprofikasi. Isu unjuk rasa besar-besaran beberapa hari ke depan sebagai respon kasus tersebut moga-moga tidak terjadi sehingga energi tak terbuang percuma, rakyat kecil masih bisa mencari makan dan tidak terganggu karena kemacetan lalu lintas akibat dampak unjuk rasa.
Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H