Kendati begitu, keadaan ini penting disyukuri. Mengingat lagi pengalaman berhadapan dengan senjata tajam sudah banyak dilalui di medan liputan. Timtim ketika bergolak, sudah dirasakan. Aceh ketika berkecamuk, sudah dinikmati. Kalimantan yang bertikai antaretnis, sudah dirasakan pula.
Papa selamet dari semua itu, karena kekuatan doa. Hanya karena kekuatan dan pertolongan Allah. Desingan suara bedil terasa nikmat jika dikenang. Teriakan orang dipenggal kepalanya sulit dilupakan. Dan kebiadaban manusia di bawah tingkah laku binatang yang amat dahsyat sudah disaksikan dengan pilu.
Papa menulis ini tak bermaksud untuk mengemis untuk dipanjatkan doa. Memaksa itu tak baik. Apa lagi permintaan itu disampaikan setiap hari. Sebab, meminta dengan cara mengemis akan membuat sebel orang yang melihat. Seperti halnya pengemis di pinggir persimpangan jalan raya, baru melintas saja orang sudah membuang muka.
Ketika seseorang berkomunikasi untuk pertama kali dapat dirasakan menyenangkan. Kedua kali, mesem. Ketiga kali, diam. Untuk keempat kalinya, bosan. Selanjutnya, mungkin masa bodo. Lu nyemplung ke laut, emang gue pikirin.
Mama, maaf sudah subuh.
Azan sudah terdengar di Daker Mekkah. Di luar makin ramai mobil lalu lalang jelang penutupan kedatangan jemaah haji. Si pitung memang pejuang, tapi tak melegenda seperti kiai sohor atau beken. Itu cuma secuil kisah, berjuang tanpa mengemis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H