Sudah dua pekan A Piau berlatih barongsai di  Klenteng Timbul atau Klenteng Xiao Yi Shen Tang di Muara Kakap, Kalimantan Barat (Kalbar). Ia ingin pada perayaan Cap Go Meh tahun ini bisa tampil mengesankan bagi orang ramai. Utamanya pengunjung  di klenteng yang terletak di Laut China Selatan itu.  Namun dalam diri A Piau muncul rasa bimbang, karena pasangan bermainnya Rojak meski fisiknya kuat tetapi bakal menimbulkan cemooh teman-temannya yang berlatar-belakang keturunan Tiongkok.
A Piau melamun. Kaos oblong putih dekil yang dikenakan terlihat makin kotor dan kumel lantaran pada pagi itu banyak membersih-bersih beberapa tempat ibadah seputar klenteng. Menyapu dan mengelap bagian ruang yang penuh debu. Klenteng Xiao Yi Shen harus terlihat bersih, itu sudah jadi prinsip seperti yang diajarkan pelatih barongsainya, A Peng.
A Piau menduga-duga Rojak bakal ditertawakan banyak orang karena tak menguasai teknik bermain barongsai. Meski A Peng, pelatihnya, memberi dorongan semangat agar Rojak tetap berlatih keras tetapi soal dirinya itu yang bukan orang Tiongkok bakal dicemooh teman-temannya. Pikirnya, sepandai-pandainya bajing meloncat, suatu saat bisa jatuh ke tanah.
Kalaupun Rojak menguasai teknik bermain barongsai dengan baik dan kekuatan fisik bagus belum tentu juga dapat diterima dalam pergaulan sesama perkumpulan barongsai di Dusun Merpati, Muara Kakap.
Rojak orangnya baik. Itu kelebihan dia, pikir A Piau lagi dalam lamunannya di trotoar klenteng pada pagi hari. Â Tapi, katanya dalam hati, kebaikan yang dimiliki Rojak bisakah membawa dirinya menjadi pemain barongsai beken atau terkenal dan memenangkan pertandingan jika di Dusun Merpati ada perlombaan barongsai.
Lamunan A Piau tentang Rojak buyar lantaran terkaget mendengar suara Bun Bun, penjaga klenteng datang dari arah dalam belakang klenteng sambil menyapa dengan suara keras.
"Mana Rojak, temenmu. Sudah siang belum latihan?" tanya Bun Bun sambil membawa sapu lidi untuk membersihkan pekarangan klenteng.
"Dikit lagi dia datang," jawab A Piau sekenanya.
Bun Bun pun tak lama kemudian meninggalkan A Piau sendirian di teras klenteng. Â Entah apa, di benak A Piau, secara tidak sengaja muncul jawaban tentang diri Rojak yang berminat bermain barongsai.
Pasti Rojak ingin juga terkenal sama dengan dirinya sebagai pemain barongsai. Barongsai sekarang ini, pikir dia, bukan milik orang Tiongkok saja. Di Indonesia, barongsai sudah lama dikenal. Cuma saja yang memainkan kebanyakan orang Tiongkok. Apa salahnya sih kalau Rojak juga bisa bermain barongsai.
Peduli amat sih dengan pendapat orang lain kalau dirinya berpasangan dengan Rojak. Kalau Rojak lahirnya di Tiongkok bisa jadi dia bermain barongsai sejak kecil. Tapi, soal kelahiran itu tidak bisa ditentukan olah orang itu. Tempat kelahiran orang sudah kehendak yang maha kuasa, pikir A Piau.