Utusan dari Sekretariat Negara, Kantor Kepresidenan, dan Sekretariat Wapres berkumpul di Gedung Kementerian Agama (Kemenag), Jumat (10/6). Mereka mengikuti rapat hingga malam. Tentu ada hal penting. Ada apa di Kemenag?
Tak banyak memang pegawai Kemenag yang mempertanyakan kehadiran pejabat dari instansi lain, tapi yang sekali ini rapatnya berlangsung sampai malam hari. Ada segelintir di antara para karyawan yang belum pulang di kementerian itu menduga-duga bahwa pembahasan rapat tersebut berlangsung serius dan bakal mengeluarkan keputusan penting.
Bisa jadi, rapat tersebut menyangkut nasib pejabat. Maklum, kementerian yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai penjaga moral atau akhlak mulia itu, baru-baru ini santer diberitakan bahwa beberapa pejabat eselon satu masuk bui. Lagi-lagi, ya kasus korupsi. Meski sudah beberapa pekan kejadiannya, yang jelas Dirjen Bimas Buddha bersama rekan-rekannya kini tengah menjalani proses hukum.
Betul saja. Rapat tersebut sangat penting. Namun tidak membahas hal-hal seperti dugaan segelintir karyawan di instansi tersebut. Mereka itu rapat dengan topik bahasan draft rancangan Peraturan Presiden tentang pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia yang kemudian disingkat menjadi UIII.
Wah, universitas bertaraf Islam internasional! Ini pasti loncatan luar biasa. Kata orang Betawi pinggiran, “Nggak salah tuh. Pake nyebut internasional lagi.”
Harap maklum, di sebagian kalangan umat Islam, lembaga pendidikan seperti universitas masih tergolong “mentereng”, sesuatu yang mewah dan mahal pula.
Jadi, yang berstatus La Yamutu Wala Yahya saja tidak terurus dengan apik, sekarang meloncat ke universitas bertaraf internasional. Padahal, jauh sebelumnya Kemenag sudah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di berbagai daerah dan di antaranya dinaikkan statusnya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dan di antara sekian banyak IAIN, ditingkatkan lagi statusnya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Bahkan, di antara sejumlah UIN yang ada dua di antaranya yang didorong untuk menjadi UIN bertaraf internasional. Dua UIN tersebut yakni: UIN Maulana Malik Ibrahim di Malang dan UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta.
Lantas, apa sih isi rapat di Gedung Kemenag itu? Rapat dihadiri para utusan dari Kemenag sebagai tuan rumah, Kementerian Keuangan, Kemenkumham, PAN dan RB, serta Ristek dan Dikti.
Yang jelas, ulasannya tidak jauh dari pembahasan Draft Rancangan Perpres pendirian UIII. Rapat itu sendiri dipandu oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana didampingi Sekjen Kemenag Nur Syam dan Dirjen Pendis Kamaruddin Amin. Ini merupakan lanjutan dari pertemuan dua hari sebelumnya (Rabu, 08/06) di Istana Wapres yang dipimpin langsung Wapres Jusuf Kalla dan diikuti lima menteri serta para pejabat eselon I terkait.
Jelas saja rapat tersebut tergolong penting, karena menyangkut koordinasi harmonisasi Rancangan Perpres mengenai pendirian UIII. Setidaknya ada enam pasal harus selesai diharmonisasikan, antara lain terkait pendirian UIII itu sendiri sebagai sebuah universitas khusus program Pascasarjana (S-2 dan S-3).
Yang terpenting, UIII didirikan untuk menyelenggarakan program pendidikan tinggi ilmu Agama Islam khas ala Indonesia (Islam Nusantara) yang terkemuka di dunia.
Mereka berharap ke depan UIII mampu menjadi penyelenggara pendidikan akademik, sekaligus pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan, pendidikan profesi.
UIII juga diharapkan menjadi salah satu pusat peradaban Islam Nusantara khas Indonesia yang berkarakter plural, terbuka, dan toleran. Selain itu, universitas tersebut dapat mempengaruhi dan memberi inspirasi bagi proses konsolidasi bangsa dan demokrasi serta menjadi basis budaya dan peradaban di Indonesia.
Dengan demikian, UIII dapat berperan aktif ambil bagian dalam Peradaban Islam dan dunia, untuk tata dunia yang damai, ramah, demokratis dan berkeadilan.
Tinggi Harapan
Tentu, tinggi sekali harapannya. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Di kalangan orang Arab, ada ungkapan terkenal di kalangan santri “Man Jadda Wa Jadda” yang artinya “Barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil". Kata orang bule, ”Where there is a will there is a way!”
Dengan sebutan lain, “Di mana ada kemauan, pasti di situ ada Jalan.“
"Tidak ada hal yang sulit jika kita mau berusaha dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas, yang penting ada kemauan dan ada kesungguhan serta gunakan logika serta ilmu pengetahuan sesuai kapasitas kita masing masing yang telah Allah Ta'ala karuniakan."
Dan, melalui serangkaian pembahasan, akhirnya diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian UIII yang ditandatangani oleh Presien Joko Widodo. Peraturan Presiden ini berlaku sejak diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 29 Juni 2016.
Perpres ini juga menegaskan, UIII mempunyai tugas utama menyelenggarakan program magister dan doktor bidang studi ilmu agama Islam. Selain menyelenggarakan program pendidikan tinggi ilmu agama Islam sebagaimana dimaksud. UIII nantinya juga dapat menyelenggarakan program magister dan doktor bidang studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta sains dan teknologi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait pendanaan, Perpres ini mengatur bahwa biaya penyelenggaraan UIII bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Non Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Setelah Perpres No. 57 Tahun 2016 dinyatakan berlaku, kini Kemenag tengah menindaklanjutinya, yaitu dengan membuat naskah akademik, pengorganisasiannya, kapan operasionalnya, di mana lokasinya dan hal-hal lainnya.
Indonesia dengan segala potensinya, perlu menjadi pusat peradaban Islam dunia dan mengenalkannya melalui jalur dan jenjang pendidikan tinggi yang memenuhi standar internasional.
Karenanya, UIII diharapkan mampu menjadi pusat penelitian dan pengembangan alternatif pemecahan masalah kemanusiaan, mozaik budaya dan peradaban dunia serta inspirasi bagi terciptanya dunia baru yang damai, ramah, demokratis, dan berkeadilan.
Dari sisi perencanaan, mayoritas mahasiswa UIII mayoritas diperuntukkan bagi pelajar luar negeri. Sebanyak 75 persen berasal dari luar negeri dan mendapatkan beasiswa seluruhnya, dalam rangka untuk menjadi duta bangsa. Jadi, setelah mahasiswa asing itu selesai studi, saat pulang ke negaranya masing-masing, mereka mampu menjelaskan nilai-nilai Islam yang berkembang di Indonesia.
Lantas, setelah UIII berdiri, bagaimana nasib peningkatan kualitas santri di pondok pesantren? Akankah ke depan juga dapat dukungan dana APBN?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H