Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Luka Sayapku, Lantas Lemas dan Stroke

18 Juni 2016   06:34 Diperbarui: 18 Juni 2016   17:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lahan kawasan wisata yang akan dibangun Songong, menurut warga Daha, adalah tanah ulayat. Lahan tersebut diakui secara sepihak oleh Songong tatkala masih menjabat sebagai perwira. Saat itu warga tak berani memberi perlawanan kepada Songong lantaran dialah satu-satunya petinggi yang memiliki pengaruh besar di kalangan pejabat daerah.

“Mereka tidak setuju. Lahan itu adalah tanah ulayat,” ungkap Bengis di teras rumah Songong yang megah pada suatu petang.

“Jadi, itu alasan mereka. Sekarang apa maunya?” kata Songong dengan nada tinggi.

“Entahlah. Untuk jelasnya, tuan bisa mendatangi lokasi itu,” ungkap Bengis lagi.

“Hm. Begitu,” jawab Songong dengan manggut-manggut dan mata melotot.

Karena hari makin mendekati malam, Bengis minta izin kepada majikannya itu untuk pulang. Songong pun menganggukan kepala sebagai tanda setuju. Tinggalah Songong seorang diri di teras rumah. Sementara kopi dan sejumlah makanan rebusan yang tersedia sejak sore hari tak disentuhnya. Dia tak lagi memiliki selera makan. Songong banyak berfikir berbagai hal yang dialami pada masa lalu. Namun jika dikaitkan dengan laporan Bengis tadi, yang muncul adalah rasa kecewa dan kemarahan tak dapat dibendung.

Sudah dua kali azan pada saat itu terlewatkan, magrib dan isya. Songong tak memperdulikan. Sejak menjadi perwira tinggi kegemaran beribadah memang tidak lagi melekat pada dirinya. Dia kehilangan jatidirinya sebagai penganut Muslim sejati. Dan Songong lebih membanggakan kedudukannya ketimbang harus mendekatkan diri kepada Tuhan dan melindungi orang kecil di kampung Daha.

Ia tetap saja duduk di kursi. Entah melamun atau berfikir keras karena cukup lama tidak beranjak dari kusinya. Tiga pelayan di rumah megah milik mantan perwira tinggi itu tak berani melihat keadaan sang majikannya. Mereka takut karena Songong dianggap galak. Di belakang rumah hanya terdengar obrolan para pembantu rumah tangga tentang juragan Songong yang sejak sore tak beranjak dari kursi.

Isteri Songong pun tak kunjung pulang. Padahal hari makin gelap di luar. Meski sinar lampu di sekeliling rumah megah itu cukup terang, kini para pembantu rumah tangga di situ makin cemas. Pasalnya, karena hari sudah semakin malam dan majikannya tetap saja tidak beranjak dari tempatnya duduk.

Akhirnya, mereka sepakat datang ke teras rumah. Dan mendapati Songong terkulai lemas di atas kursi. Ia tak dapat menggerakan lengan tangan dan kaki kirinya. Songong terkena serangan stroke, mengalami kelumpuhan tiba-tiba. Para pembantunya pun tak bisa berbuat banyak. Sekalipun bertiga, tak mampu mengangkat badan Songong yang besar dan tinggi itu. Yang diperbuat para pembantu itu hanyalah menemani sang majikan di teras, tanpa bicara dengan diliputi rasa cemas sambil menunggu kedatangan isteri Songong pulang.

Sejak itu Songong kehilangan segalanya. Mahkotanya berupa kekuasaan hilang sekejap. Kepiawaiannya menggunakan senjata laras panjang yang digunakan untuk berburu bangau tinggal kenangan. Sayap bangau terluka dan hanya mampu mengepak di atas permukaan sawah karena ditembak Songong ketika itu hanya mampu bergerak berputar putar di tempat. Kini nasib yang sama dialami sang pemburu, Songong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun