Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ahok Vs Jurnalis: Sebuah Kasus Keangkuhan Intelektual?

17 Juni 2016   21:16 Diperbarui: 18 Juni 2016   15:04 3552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok ketika bicara dengan wartawan di Balaikota Jakarta

Banyak cara untuk mudah dikenal di kalangan pejabat jika anda sebagai jurnalis.

Tabu bagi seorang jurnalis terlihat bodoh. Jurnalis memang harus cerdas, belajar terus menerus dari lingkungan dan wilayah liputan yang menjadi garapannya.

Maklum 'gawe' jurnalis sering dipindah dari satu instansi ke instansi lain, sehingga selain harus pandai melobi pejabat atau narasumber, juga harus cepat menguasai kebijakan dari masing-masing instansi. Termasuk pula istilah-istilah yang digunakan.

Jika Anda sebagai jurnalis ngepos di Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengerti bidang hukum meski tidak sebagai pakar. Jika ditugasi di kementerian PU, setidaknya harus tahu istilah bidang konstruksi dan keciptakaryaan. Jika di Kementerian Agama setidaknya tahu apa yang dimaksud kuota haji dan istilah istitoah. Jika berada di lingkungan wartawan olah raga, anda juga harus tahu apa yang dimaksud offside dan ngerumput. Bukan ngerumpi. Jika tidak tahu, itu wartawan bodrek namanya. Pun bila diempatkan di lingkungan kepolisian dan kejaksaan, kementerian hukum dan HAM, maka anda harus tahu pasal-pasal yang berkaitan dengan kasus kriminal.

Acara jumpa pers adalah momentum yang tepat bagi seorang jurnalis untuk menunjukan sosok dirinya, dari media mana dan sebagainya. Ajukan pertanyaan dengan suara tegas, jelas dan kritis.

Dengan cara bertanya seperti itu, narasumber terpancing dan mau memberi jawaban dengan jelas pula. Tapi, jika anda tidak tahu duduk persoalannya, jangan sesekali mengajukan pertanyaan pada awal acara. Lebih baik diam. Dengarkan apa yang ditanyakan rekan Anda yang ada di sekitar kepada narasumber. Simak jawaban dan penjelasan narasumber dengan baik.

Jika saja seorang jurnalis tidak tahu persoalan kemudian mengajukan pertanyaan, bisa tidak nyambung. Bisa pula menimbulkan kesan jurnalis itu bodoh. Bertanya saja tidak becus, apalagi untuk mengerti persoalan dan menggali isu baru di pos liputan atau tempat anda mencari berita sehari-hari.

Biasanya, jurnalis junior baru mengajukan pertanyaan tatkala acara jumpa pers menjelang berakhir. Pertanyaan biasanya berdasarkan pesanan redakturnya. Dalam istilah lain dikenal sebagai 'pertanyaan saku'.

Bagi jurnalis atau repoter pemula, dan sok tahu tentang seluk beluk di pos liputannya (seperti di Balai Kota DKI Jakarta) bisa menimbulkan masalah. Bukan hanya pada diri jurnalis itu sendiri juga beresiko pada nama baik media bersangkutan.

Untuk itulah, guna menghindari hal seperti itu, ketika dilakukan rekrutmen tenaga jurnalis atau wartawan, manajemen dari media melakukan seleksi ketat. Setelah lulus tes penerimaan, lantas dilakukan pelatihan jurnalistik dengan materi teknik menulis berita, wawancara, kode etik dan kebijakan redaksional dari media bersangkutan. Tidak peduli dengan latarbelakang pendidikannya, apakah berasal dari fakultas komunikasi, hukum, pertanian atau pemerintahan. Semua harus tunduk pada aturan dan ikut pelatihan.

Tentang pelatihan bagi wartawan pemula sebelum dilepas ke lapangan, tidak semua perusahaan media massa melakukannya. Sangat tergantung kebijakan masing-masing. Karena itu, ketika melakukan peliputan, corak dan warna wartawan dari setiap media bisa dibedakan. Terutama etikanya menghadapi narasumber.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan didukung wartawan seniornya, telah mengeluarkan panduan praktis agar para jurnalis dapat menjalankan tugasnya secara profesional. Para jurnalis wajib mengetahui dan menaati kaidah etika yang menuntun mereka dalam menjalankan tugasnya. Tentara saja dalam menjalankan tugasnya di medan militer wajib mengindahkan hukum internasional, apalagi wartawan.

Para pekerja media kadang kurang memperhatikan adanya aturan yang mengikatnya. Wartawan dalam menjalankan tugasnya tidak saja harus secara benar, tetapi juga secara baik. Maksudnya, praktisi pers wajib menaati kode etik jurnalistik, mampu melaksanakan tugas secara benar. Benar karena melaksanakan tugas dengan mengutamakan akurasi, fairness, menggunakan sumber terpercaya dan kompeten, menghormati asas praduga tak bersalah, menghormati hak privasi orang lain.

Wartawan yang baik akan selalu menyiapkan diri sebelum turun ke lapangan, mengetahui bagaimana melakukan wawancara, menguasai teknik reporting, mengetahui tata bahasa dan cara menulis dan lainnya.

Soal Ahok
Terkait tugas awak media dan mengutip berita KOMPAS.com pada Kamis (16/6/2015), Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan bahwa dia tidak bermaksud melecehkan wartawan terkait sikapnya tadi pagi.

Pria yang akrab disapa Ahok ini mengatakan, tidak ingin komentarnya terhadap sesuatu diputarbalikkan.

"Kayak tadi Anda tanya soal 'Teman Ahok', saya jawab kan. Satu lagi saya sudah jawab begitu baik. Saya enggak memandang dia dari koran mana, media mana. Dia malah balikin, 'Kalau begitu Bapak menganggap Bapak paling hebat dong di antara seluruh pejabat Indonesia?'" ujar Ahok dalam wawancara bersama Kompas TV di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan.

"Itu bukan pertanyaan lho. Itu Anda sedang mau menjebak saya, mengajak saya berantem sama seluruh pejabat di Indonesia. Kok Anda main simpulkan seperti itu," kata Ahok.

Itulah sebabnya Ahok merasa kesal dengan pertanyaan salah satu wartawan tadi pagi. Ahok berpendapat pertanyaan itu hanya akan mengadu domba dirinya dengan pejabat lain.

Mencermati berita tersebut, persoalan menjadi makin menarik. Pasalnya, Ahok yang dipersepsikan publik sebagai sosok temperamen sangat logis memilih sikap marah. Sebab, pejabat mana pun yang ketika diwawancarai dan mendengar pertanyaan bernada adu domba akan merasa tersinggung. Dalam wawancara, bila diri narasumber direndahkan atau diangkat-angkat dengan cara berlebihan dan tidak proporsional akan menimbulkan masalah.

Kalimat "Berarti tidak ada pejabat yang sehebat Bapak?" sepintas tidak ada apa-apanya. Tetapi pada pertemuan sekelompok wartawan dengan Ahok di Balai Kota, kalimat tersebut mengejutkan. Tentu saja bagi Ahok yang belakangan kerap tampil di layar kaca dan sejumlah media massa lainnya.

Bagi pejabat, apa lagi sebagai petahana yang akan menghadapi Pilkada pada 2017, harusnya akan hati-hati mengeluarkan pernyataan. Namun bagi Ahok berbeda, ia tidak perduli. Ahok pun tidak memanfaatkan kehadirannya di Balai Kota itu untuk mencari popularitas atau pencitraan di media massa. Ia tampaknya tampil apa adanya.

Bagi jajaran awak media, --apakah suratkabar, media elektronik dan online-- Ahok adalah sosok menarik. Bukan hanya pernyataannya layak jual atau menarik untuk diberitakan, tetapi selalu beritanya dinantikan bagi kalangan birokrat jajaran Pemda DKI sendiri hingga seluruh warga di Tanah Air. Bahkan para petinggi di negeri ini mengikuti terus berita-berita dari Balai Kota. Oleh publik pun Ahok dikesankan sebagai pekerja keras.

Terkait kalimat tidak ada pejabat yang sehebat bapak, bisa jadi hal itu meluncur dari mulut sang wartawan secara spontan. Pun tidak ada maksud mengadu-domba Ahok dengan sejumlah pejabat lainnya. Jurnalis yang kerjanya mengajukan pertanyaan tidak luput dari kesalahan di mata Ahok. Wartawan juga manusia biasa. Ahok pun bisa saja dimarahi karena kata-katanya dirasakan tidak pas bagi orang banyak.

Jadi, peristiwa itu harus disikapi dengan bijak. Kata anak Betawi, jangan lebay.

Dalam menyikapi kejadian itu, jurnalis pun harus sadar, introspeksi lebih baik lagi. Profesionalitas harus dikedepankan dalam menjalankan tugas sehari-hari. Hindari keangkuhan intelektual dengan tetap berpegang pada pengendalian diri dan profesionalitas.

Dalam suatu kesempatan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, mulutmu adalah harimaumu. Maksudnya, hati-hati mengeluarkan pernyataan. Apalagi pada Bulan Suci Ramadan ini. Semoga kedua pihak mendapat hidayah.

Oleh Edy Supriatna Sjafei

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun