Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Secuil Kisah Pemulung dan Rumah Ibadah Bantar Gebang 

3 Juni 2016   21:57 Diperbarui: 3 Juni 2016   22:06 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalat beterbangan dan hinggap di sembarang tempat, kadang terlihat bergerombol singgah di pagar kawat berbaris warna hitam sebesar biji jagung di siang bolong. Tidak ada yang mengusir, sehingga lalat-lalat itu nyaman hidup dan mudah mendapatkan makanan di alam sekitar yang mungkin dirasakannya sangat bersahabat.

Debu beterbangan yang terbawa angin dan menerobos pagar tidak membuat gerombolan lalat merasa terganggu. Lalat tetap saja hinggap, seolah tengah asyik berkomunikasi antarsesama. Entah apa yang tengah digunjingkan binatang kotor itu.

Tidak jauh dari pagar, gerombolan lalat di tempat lain beterbangan. Semula mereka itu tengah asyik berkumpul di pelataran mushalla. Persis di atas tumpukan karung plastik berisi barang rongsokan yang berbau. Pasalnya, ada sekelompok manusia berwarna kulit sawo matang dan bule lewat di dekatnya.

Para bule dan rekan-rekannya melintasi musala menuju sanggar Satu untuk semua
Para bule dan rekan-rekannya melintasi musala menuju sanggar Satu untuk semua
Mushalla (musala, red), bagi umat Islam, adalah tempat atau rumah kecil menyerupai masjid yang digunakan sebagai tempat mengaji dan shalat. Di berbagai daerah mushalla disebut juga surau atau langgar.

"Ngungg.......," suara lalat terbang.

Persis seperti suara peralatan berat ekskavator berwarna kuning di atas bukit sampah Bantar Gebang Bekasi, Jawa Barat (Jabar), yang terdengar dari kejauhan.

Di kampung Bukit Sampah Bantar Gebang ini tak terlihat dan terdengar suara binatang. Burung gereja yang biasa hinggap di rumah gedongan, gedung bertingkat, gereja mewah Katedral dan masjid negara seperti Istiqlal, di kawasan itu tak terlihat. Selain lalat, hanya kucing yang terlihat berbadan gemuk.

Juga, tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia di mushalla yang berlokasi di tepi bukit sampah Bantar Gebang itu. Tepatnya, rumah ibadah itu berada di luar pagar kawasan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang. Ketika masuk shalat dzuhur, tak ada suara beduk. Apa lagi suara azan.

Ukuran mushalla itu tidak terlalu besar, sekitar 10 x 10 meter persegi. Tidak ada papan nama, sehingga bangunan rumah ibadah berdinding tembok dan beratap genteng tanah tersebut tidak dikenal banyak orang.

Meski di siang hari, mushalla tersebut terlihat gelap bagian dalamnya. Sekelilingnya penuh dengan tumpukan karung plastik berisi barang bekas, hasil kerja para pemulung. Bagi pemulung, barang-barang tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi apabila terjual meski mengeluarkan bau dan mengundang lalat datang karena berhari-hari dibiarkan tergeletak tak terurus.

Di halaman mushalla tersebut terlihat jalan tembus ke pagar TPST. Jalan kecil dan kemudian masuk wilayah perkampungan itu sering dimanfaatkan para relawan Bantar Gebang untuk masuk ke basecamp Yayasan Satu Untuk Semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun