Apa sih rahasia Ahok bisa menjadi demikian beken di kalangan warga pemulung sampah? Padahal ia tak pernah blusukan ke kawasan kumuh itu.
Hingga akhir pekan ini nama Ahok, sebutan akrab Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, masih tetap beken atau menjadi populer di kalangan warga Bukit Sampah Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat (Jabar).
Padahal musim kampanye Pilgub DKI Jakarta masih lama. Spanduk para calon gubernur pun tak terlihat di kawasan kumuh itu. Sejauh mata memandang, hanya onggokan dan bukit sampah yang dipercantik peralatan berat excavator warga kuning di atas bikit sampah. Lagi pula mereka yang bermukim di kawasan tersebut bukan warga ibukota. Tak ada satu suara pun yang bisa membantu agar Ahok tetap bercokol di kursi gubernur.
Tidak ada keluhan dari warga. Apa lagi melancarkan protes kepada pihak yang dianggapnya bertanggung jawab, mengapa debu bertebaran tidak dicegah.
Malah ada di antara warga - yang bermukim di rumah terbuat dari tiang bambu, beratapkan seng dan terpal butut, berdinding tripek bekas - melambaikan tangan kepada sang sopir. Mereka bertegur sapa dengan suara keras menggunakan bahasa daerah. Nampak di antara mereka punya pergaulan akrab. Kegembiraan warga dengan pakaian dekil, koyak dan memelas masih nampak di lingkungan kumuh dengan bau seribu satu macam itu.
Di kawasan tersebut bermukim warga dari berbagai daerah. Di antaranya berasal dari Karawang, Indramayu, Banten, Sumatera Selatan dan paling banyak berasal dari Madura. Diperkirakan ada 3 ribu kepala keluarga (KK) dan 156 di antaranya berasal dari sekitar Sumur Batu, Bekasi.
Di tempat itu pula para relawan lokal dan asing ikut aktif memberi pelajaran. Bahkan di situ Bahasa Inggeris pun diajari diselingi pelajaran lainnya. Mereka seolah tak kenal lelah. Bau tak sedap sehari-hari bukan menjadi penghalang untuk mencerdaskan anak bangsa. Di situ, tidak pernah dibicarakan soal persoalan sampah yang kadang menjadi santapan menarik media massa lantaran pernyataan Ahok yang "tajam" ketika menghadapi seterunya.
Namun anehnya, di kalangan bocah pemulung di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) nama Ahok cukup beken. Padahal gubernur yang dikenal "garang" ini tak pernah masuk ke kawasan bukit sampah dan menyambangi pemukiman kumuh para pemulung.
Di sini Ahok boleh bangga dengan anak pemulung yang menilainya sebagai gubernur yang tegas, berani dan sering masuk dalam siaran berita di sejumlah televisi.
Berbeda dengan Haji Abraham "Lulung" Lunggana, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Meski namanya dikenal di kalangan bocah atau anak pemulung di kawasan itu, namun tidak sepopuler Ahok.
Para bocah pemulung menyebutkan alasan Ahok lebih hebat, lantaran dia lebih banyak tampil di layar kaca atau televisi. "Haji Lulung juga orangnya berani, tapi Ahok lebih banyak tampil di televisi,” kata Etty, anak pemulung yang bermukim di balik bukti sampah Bantar Gebang.
Pikiran dan anak-anak berusia 8 – 14 tahun itu terekam dan makin jelas ketika rombongan alumni FH'20 Trisakti Jakarta bermain dan belajar dengan para bocah tersebut di basecamp Satu Untuk Semua.
FH’20 Trisakti hadir di tengah para bocah yang sebagian di antaranya masih mengeluarkan ingus lantaran kurang terurus kesehatannya, terlihat kumel lantaran kemiskinan yang mendera para orang tuanya, namun masih memiliki semangat untuk belajar.
Pada kesempatan itu rombongan FH’20 Trisakti yang dipimpin Ketua Panitia Dewi Umawarsih menyerahkan bantuan sembako, buku, obat-obatan dan Al-Qur’an sebagai persiapan menghadapi Ramadan.
“Ahok….Ahok… Ahok,” teriak Talib, bocah berusia 8 tahun di hadapan para tamu dari Trisakti Jakarta itu.
Talib juga tak merasa malu ketika didekati Haposan Paulus Batubara yang berperawakan gemuk dan besar. Ia memanggilnya kakak penyayang lantaran Haposan berani menggendong dan berpelukan.
Boleh jadi pada Minggu siang itu bagi bocah pemulung merupakan hari istimewa. Pasalnya, mereka dapat berkenalan dengan kakak-kakak alumni Trisakti yang memotivasi agar anak-anak di kawasan Bantar Gebang tidak takut untuk bersekolah, belajar dengan baik sehingga ke depan dapat memutus mata rantai kemiskinan yang menderanya selama ini.
Resa Aprianengsih, relawan dari Yayasan Satu Untuk Semua di Bantar Gebang menduga anak-anak sering menyebut nama Ahok karena para orang tua mereka sering membicarakan sepak terjang gubernur DKI Jakarta itu. Terlebih, Ahok sering tampil di layar kaca.
Jadi, celoteh dan cerita orang tua di kawasan kumuh itu ikut terekam di benak anak-anak.
Apakah Ahok yang juga alumni Trisakti itu akan menyambangi anak-anak Bantar Gebang di kemudian hari? Kita hanya berharap, suatu saat bisa mendatangi lokasi itu. Bukan untuk membahas soal sampah, soal politisi sampah, tetapi memberi perhatian kepada anak-anak di kawasan tersebut. Di kawasan Kampung Bukit Sampah Bantar Gebang, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Anak putus sekolah dan nikah di usia dini. Mereka memang bukan warga DKI Jakarta, namun masih bisa memberi berkontribusi meski belum menggembirakan.
Tidak ada satu pun di antara anak-anak tersebut meminta-minta uang kepada kakak-kakak alumni Trisaksi sebagaimana kebanyakan anak miskin terlihat di persipangan jalan ibukota menjadi pengemis. Mereka sudah tersentuh pendidikan, beretika dan mampu memposisikan diri ketika kedatangan tamu.
Ke depan, diharapkan, mimpi anak-anak menjadi gubernur seperti Ahok dapat terwujud. Jangan takut mewujudkan mimpi, sebagaimana diungkapkan para alumnis FH'20 Trisakti ketika berada di tengah anak-anak pemulung itu.
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H