Buku cetak sering kali dianggap sebagai barang kuno yang perlahan-lahan ditinggalkan oleh generasi muda. Namun, di balik semua teknologi canggih yang merevolusi cara kita belajar, ada suara-suara yang menyerukan kembali ke bentuk pendidikan tradisional: buku cetak. Demikianlah yang ditulis oleh Kompas.com (16/1/2025) tentang Swedia yang menganggarkan Rp 1,7 triliun untuk mengembalikan sistem pendidikan dari komputer ke buku cetak.
Sejumlah pakar pendidikan berdebat tentang kelebihan sistem pendidikan berbasis buku cetak dibandingkan dengan yang digital. Lantas, apa sebenarnya yang membuat buku cetak kembali diperlukan.
Kualitas Pembelajaran yang Lebih Baik
Buku cetak menawarkan keuntungan yang signifikan dalam hal kualitas pembelajaran. Penelitian menunjukkan bahwa membaca dari kertas dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi dibandingkan membaca dari layar.
Carvalho et al. (2020) menemukan bahwa siswa lebih memilih buku cetak karena kemampuan mereka untuk membuat catatan dan mencapai tingkat konsentrasi yang lebih tinggi melalui pengalaman sensorik yang diberikan oleh kertas. Selain itu, studi Mangen, Walgermo, dan Brnnick (2013) menunjukkan bahwa siswa yang membaca teks dari buku cetak menunjukkan pemahaman dan daya ingat yang lebih baik. Penelitian ini mengindikasikan bahwa interaksi antara pembaca dan teks cetak memberikan dampak mendalam pada proses belajar.
Di Indonesia, di mana kebijakan pendidikan sedang diwacanakan menuju ke "deep learning" atau pembelajaran mendalam, ada beberapa faktor yang perlu dikaji sebelum mempertimbangkan kembali posisi buku cetak dalam kurikulum. Penelitian Munandar dan Irwansyah (2019) menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia lebih menyukai format digital, mereka mengakui bahwa format cetak lebih memberikan kenyamanan dan membuat lebih fokus dalam membaca.
Selain itu, penelitian Wahyuni et al. (2023) menunjukkan bahwa meskipun buku digital lebih praktis dan ramah lingkungan, buku cetak masih dianggap lebih personal dan tidak mudah terdistraksi. Dengan mempertimbangkan data dan penelitian di Indonesia, tampaknya ada kebutuhan untuk menemukan keseimbangan antara penggunaan buku cetak dan digital dalam kurikulum pendidikan. Kebijakan yang mengintegrasikan kedua format ini dapat membantu memaksimalkan keuntungan masing-masing media dan mendukung pembelajaran yang lebih efektif.
Kesehatan Mental dan Kesejahteraan
Kembali ke buku cetak juga dapat memiliki dampak positif bagi kesehatan mental siswa. Penelitian Girela-Serrano et al. (2022) menunjukkan bahwa penggunaan perangkat digital yang berlebihan sering kali berkontribusi pada meningkatnya tingkat stres dan kecemasan, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Mereka menemukan bahwa anak-anak dan remaja yang menggunakan perangkat digital secara berlebihan cenderung mengalami peningkatan dalam gejala kecemasan dan depresi.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Child and Adolescent Mental Health menunjukkan bahwa keterlibatan berlebihan dengan teknologi dapat menimbulkan gejala depresif (Twenge & Campbell, 2018). Dengan kembali menggunakan buku cetak, Swedia bisa memberikan alternatif yang lebih sehat bagi siswa dalam belajar, yang tentu saja berdampak positif pada kesejahteraan mereka. Dalam konteks ini, apa yang bisa dilakukan pendidikan untuk memprioritaskan kesehatan mental siswa?