Dalam dunia pendidikan, istilah memiliki kekuatan yang signifikan. Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan bahwa selama bulan Ramadan tidak ada libur, tetapi menggunakan istilah "pembelajaran" sebagai pengganti "liburan", hal ini menimbulkan banyak perdebatan.
Mengapa perubahan istilah ini bisa dianggap sebagai sebuah pemelintiran realitas? Melalui artikel pendek ini saya mengulasnya.
Makna Liburan dalam Perspektif Pendidikan
Liburan umumnya dipahami sebagai waktu untuk istirahat dari rutinitas sehari-hari, memberikan kesempatan bagi siswa dan pendidik untuk beristirahat dan menyegarkan pikiran. Misalnya, setelah menjalani semester yang penuh dengan ujian dan tugas, siswa dan guru bisa menggunakan liburan untuk bersantai, berlibur bersama keluarga, atau mengejar hobi yang tertunda.Â
Ini adalah saat yang penting untuk pemulihan fisik dan mental, yang akan membantu mereka kembali ke aktivitas belajar dengan energi yang baru.
Paul Ricur dalam bukunya "The Rule of Metaphor" (Ricur, 2003) berargumen bahwa penamaan tidak mengubah hakikat dari sesuatu. Artinya, meskipun kita menyebut waktu istirahat dengan istilah lain seperti "pembelajaran," kebutuhan tubuh dan pikiran untuk beristirahat tetap tidak berubah.Â
Meskipun seorang guru mengganti istilah "liburan" dengan "pembelajaran mandiri," kebutuhan siswa untuk rehat dan menghilangkan stres tetaplah relevan. Penamaan yang berbeda tidak akan menghilangkan kebutuhan alami manusia akan istirahat.
Mengubah istilah tanpa mempertimbangkan substansi sebenarnya menunjukkan tantangan dalam memahami makna asli dari sebuah konsep (Ricur, 2003).Â
Ketika istilah "liburan" diganti dengan "pembelajaran" tanpa adanya perubahan nyata dalam manfaat yang diberikan, hal ini hanya menambah kebingungan.
Jika pemerintah menyatakan tidak ada libur tetapi tetap memberikan tugas selama Ramadan, siswa dan guru masih akan merasakan bahwa kebutuhan mereka untuk beristirahat tidak terpenuhi. Akibatnya, ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka secara negatif.
Dekonstruksi Makna Pembelajaran Selama Ramadan
Menurut Jacques Derrida, makna adalah dinamis dan selalu terbuka untuk interpretasi. Ini berarti, setiap kata atau frasa bisa memiliki berbagai makna yang bergantung pada konteksnya.Â
Sebagai contoh, kata "liburan" bagi seorang siswa mungkin berarti waktu untuk bersantai dan bermain, sementara bagi seorang pekerja kantoran, "liburan" bisa berarti waktu untuk bepergian atau istirahat dari pekerjaan sehari-hari.
Ketidakjelasan definisi "pembelajaran" selama Ramadan menambah kompleksitas situasi. Jika pemerintah menyatakan bahwa tidak ada libur tetapi ada "pembelajaran" yang diatur khusus selama Ramadan, ini bisa membingungkan banyak orang.Â
Orang tua mungkin kebingungan tentang apakah anak-anak mereka perlu mengikuti kelas seperti biasa atau mengikuti pembelajaran dari rumah dengan jadwal yang berbeda.
Meskipun dinyatakan tidak ada libur, sebagian dari masyarakat mungkin merasa bahwa mendidik di bulan suci ini bisa mengganggu proses ibadah mereka.Â
Sebagai contoh, seorang siswa yang harus mengikuti kelas online selama Ramadan mungkin merasa kesulitan untuk fokus pada ibadahnya.Â
Orang tua juga mungkin merasa bahwa jadwal pembelajaran yang padat selama Ramadan bisa mengganggu waktu keluarga yang biasanya digunakan untuk beribadah bersama dan mempererat hubungan keluarga.
Pandangan dari Ahli Pendidikan
Dalam teori dekonstruksi Derrida, makna kata tidak statis dan dapat berubah tergantung pada konteksnya. Penggunaan istilah "pembelajaran" di bulan Ramadan dalam pengertian yang kaku dapat menimbulkan kesalahpahaman dan ketidakpuasan di kalangan pendidik, siswa, dan orang tua.Â
Pendekatan pembelajaran yang efektif mungkin tidak dapat diterapkan selama bulan ibadah ini. Ini dapat mengurangi kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Menurut Mikhail Bakhtin, setiap tindakan verbal memiliki dimensi dialogis yang mencerminkan makna dan konteks sosial (Bakhtin, 1981). Dengan mengabaikan konteks budaya dan religius dalam kebijakan pendidikan, hal ini dapat menambah beban bagi siswa dan guru. Pada akhirnya, ini bisa merugikan proses belajar-mengajar itu sendiri.
Implikasi Sosial dari Keputusan Ini
Andai keputusan yang dibuat adalah tidak mengambil libur di bulan Ramadan, hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam pemahaman kebijakan publik.Â
Hal ini juga dapat menciptakan beban emosional dan mental bagi siswa dan guru. Sebagai contoh, seorang siswa yang harus terus belajar tanpa jeda mungkin merasa kelelahan dan stres. Guru yang juga harus terus mengajar tanpa waktu istirahat yang memadai bisa mengalami burnout.
Banyak yang berargumen bahwa kebijakan semacam ini menciptakan beban emosional dan mental bagi siswa dan guru. Tanpa adanya waktu istirahat yang cukup, kualitas pembelajaran dapat menurun.Â
Siswa yang kelelahan mungkin tidak mampu memahami materi pelajaran dengan baik, dan guru yang stres mungkin tidak dapat mengajar dengan efektif.
Miller (2021) mengingatkan bahwa menghargai momen penting dalam budaya masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan well-being sosial (Miller, 2021).Â
Jadi, dengan tidak memberikan libur selama Ramadan, pemerintah mungkin tidak menghargai kebutuhan spiritual dan budaya masyarakat. Ini dapat mengakibatkan ketidakpuasan dan protes dari masyarakat yang merasa bahwa kebutuhan mereka tidak dipahami dan dihormati.
Sebaliknya, memberikan libur selama Ramadan, meski dengan intensi menghargai kebutuhan spiritual dan budaya masyarakat, tetapi dengan memelintir "liburan" itu dengan istilah "pembelajaran" dapat mengakibatkan ketidakpuasan dan protes dari kalangan masyarakat yang merasa bahwa kebutuhan mereka tidak dipahami dan dihormati.
Daftar Referensi
Bakhtin, Mikhail. (1981). The Dialogic Imagination: Four Essays. University of Texas Press. URL: https://archive.org/details/dialogicimaginat0000bakh?form=MG0AV3
Derrida, Jacques. (1978). Writing and Difference. University of Chicago Press. URL: https://archive.org/details/writingdifferenc00derr_0?form=MG0AV3
Miller, Lisa. (2021). The Spiritual Child: The New Science on Parenting for Health and Lifelong Thriving. St. Martin's Press. URL: https://archive.org/details/spiritualchildne0000mill?form=MG0AV3
Ricur, Paul. (2003). The Rule of Metaphor. Routledge. URL: https://dl1.cuni.cz/pluginfile.php/1192483/mod_resource/content/1/Ricoeur%2C%20P.%2C%20The%20Rule%20of%20Metaphor.pdf?form=MG0AV3
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI