Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Makan Bergizi Gratis (MBG): Telaah Psikologi

6 Januari 2025   15:30 Diperbarui: 8 Januari 2025   17:27 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan Siang Gratis(Sumber: Freepik/Koleksi Edy Suhardono)

Selain itu, penelitian oleh Devine et al. (2016) menunjukkan bahwa perubahan dalam kebiasaan makan dapat berpotensi melemahkan kemandirian seseorang terhadap keputusan makan yang sehat. Pertanyaan mendasarnya, sejauh mana kita telah cukup memperhatikan potensi efek jangka panjang dari perubahan habituasi dalam konteks kesehatan masyarakat melalui program ini.

Dari Kesehatan Holistik menjadi 'Kondisi Tidak Sakit'

Program MBG tampaknya berfokus pada penyediaan makanan bergizi dan penanganan masalah seperti stunting, tanpa melihat akar masalah yang lebih rumit. Dalam konteks ini, pendekatan program cenderung reaktif, hanya menghentikan gejala daripada menangani penyebab mendasar.

Menurut Haskins et al. (2017), kesehatan holistik harus mencakup berbagai dimensi, termasuk fisik, mental, dan sosial, untuk benar-benar efektif dalam meningkatkan kualitas kesehatan individu. Misalnya, intervensi nutrisi yang bermanfaat namun tidak memperhatikan aspek sosial dan emosional dapat menyebabkan masalah yang lebih besar, seperti stigma sosial atau rasa malu bagi penerima bantuan.

Sementara itu, menurut Aaron Antonovsky, kesehatan holistik seharusnya mencakup kesejahteraan psikologis, sosial, dan fisik, bukan hanya kondisi tidak sakit (Antonovsky, 2013). Antonovsky mengembangkan konsep "sense of coherence" yang menunjukkan bahwa individu dengan rasa koherensi yang tinggi lebih mampu menghadapi stres dan menjaga kesehatan mereka.

Martin Seligman juga menyatakan bahwa untuk mencapai kesejahteraan sejati, kita harus fokus pada pencegahan dan pengembangan kesejahteraan secara menyeluruh, bukan hanya menangani gejala saat muncul (Seligman, 2018).

Jadi, pertanyaannya adalah, bagaimana program MBG bisa diintegrasikan dengan pendekatan kesehatan holistik yang lebih luas, yang mencakup pencegahan dan pengembangan kesejahteraan psikologis serta sosial?

Mencerdaskan 'Kehidupan Bangsa', Bukan Mencerdaskan 'Bangsa'

Tujuan berbangsa dan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, melalui program MBG, tujuan ini mungkin direduksi menjadi hanya mencerdaskan individu-individu tanpa memperhatikan komunitas dan masyarakat. Ada perubahan dari pencerdasan tata kehidupan bangsa menjadi hanya sekadar pencerdasan bangsa yang merupakan agregasi dari individu-individu.

Paulo Freire dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed" mengemukakan bahwa pendidikan -bagaimana program MBG ini diselenggarakan- harus memberdayakan individu dan komunitas, bukan menciptakan ketergantungan (Freire, 2017). Freire percaya bahwa pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang memungkinkan individu untuk berpikir kritis dan bertindak secara mandiri. 

Perubahan perspektif pendidikan dalam arti luas menjadi sempit sebagaimana tercermin dalam program MBG ini dapat meningkatkan ketergantungan psikologis pada faktor luar. Sebab, dari perspektif pendidikan dan pembangunan, terdapat pergeseran tujuan dalam program MBG. Alih-alih berorientasi pada penguatan komunitas, program ini lebih fokus pada pencerdasan individu, yang berimplikasi pada meningkatnya ketergantungan individu pada faktor eksternal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun