Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sulitnya Membedakan antara Pajak dan Pungutan

4 Desember 2024   16:55 Diperbarui: 5 Desember 2024   07:47 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemaknaan Pajak sebagai Pungutan (Sumber: Freepik/Koleksi Edy Suhardono)

Dalam konteks ekonomi saat ini, pemahaman masyarakat mengenai pajak dan pungutan sering kali mengalami kekeliruan. Pajak seharusnya dipahami sebagai kontribusi untuk pembangunan bersama, tetapi sering kali dianggap sebagai beban yang tidak adil, mirip dengan pungutan liar. Apa yang menyulitkan pemisahan ini?

Dari sudut pandang psikologi ekonomi, khususnya dalam hal harga dan nilai, pajak harus dilihat sebagai investasi dalam infrastruktur dan layanan publik. Namun, jika pajak dipersepsikan sebagai pungutan, persepsi ini dapat mengurangi nilai yang dirasakan oleh masyarakat.

Thaler dan Sunstein (2021) mencatat bahwa pandangan positif terhadap pajak dapat meningkatkan kepatuhan, sedangkan pandangan negatif dapat membuat masyarakat enggan untuk mematuhi kewajiban pajak.

Menurut psikologi ekonomi, emosi juga berperan penting dalam keputusan ekonomi. Persepsi negatif terhadap pajak sering kali muncul dari ketidakpuasan dan ketidakadilan.

Penelitian oleh Kahneman dan Tversky (2020) menunjukkan bahwa kerugian sering dirasakan lebih menyakitkan dibandingkan keuntungan yang setara, sehingga ketika masyarakat melihat pajak sebagai kerugian, mereka cenderung menghindarinya meskipun ada konsekuensi jangka panjang.

Etika dan Keadilan

Dari sudut pandang etika dan keadilan, pajak seharusnya berfungsi sebagai alat untuk pemerataan sumber daya. Namun, muncul pertanyaan apakah pajak benar-benar mencerminkan keadilan sosial. Dalam banyak kasus, seperti yang diungkapkan oleh Piketty (2019), kebijakan pajak justru dapat memperkuat ketimpangan daripada menguranginya.

Sering kali, kebijakan pajak yang regresif menguntungkan kelompok elite dan merugikan masyarakat menengah ke bawah. Fenomena ini memiliki dampak luas, terutama di tengah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang disertai pungutan baru. Penelitian oleh Sweeney dan Soutar (2019) menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap beban pajak dapat memicu ketidakpuasan sosial yang meluas.

Salah satu contoh yang sering dijadikan acuan adalah penerapan PPN di Indonesia, yang kerap dianggap sebagai pajak yang regresif. Ketika pemerintah berencana untuk menaikkan PPN, banyak pihak mengkhawatirkan dampak negatifnya terhadap daya beli masyarakat, terutama di kalangan berpenghasilan rendah dan menengah.

Kenaikan PPN sering kali membuat harga barang dan jasa melonjak, yang memicu protes dari masyarakat yang merasakan beban tambahan. Dalam konteks ini, kebijakan pajak yang dimaksudkan untuk mencapai keadilan sosial justru berpotensi memperlebar kesenjangan antarkelas sosial.

Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi dan merumuskan kembali kebijakan pajak agar sejalan dengan prinsip keadilan dan pemerataan sumber daya dalam masyarakat.

Pemaknaan Pajak sebagai Pungutan

Dalam menghadapi berbagai pungutan dan pajak yang meningkat, penting untuk membedakan antara pajak sebagai instrumen pembangunan dan pungutan yang dianggap memberatkan. Ketika masyarakat merasa bahwa setiap pungutan adalah tindakan sewenang-wenang dari pemerintah, kepercayaan publik dapat hilang, yang berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat yang sudah tertekan. Kahn (2020) mengungkapkan bahwa skeptisisme terhadap pajak dapat meruntuhkan rasa tanggung jawab sosial.

Beberapa kajian terbaru menunjukkan bahwa ketika pajak dipersepsikan sebagai pungutan yang tidak adil, masyarakat menengah ke bawah cenderung menunda pengeluaran penting, yang berakibat negatif pada daya beli mereka dalam jangka panjang (Norton & Ariely, 2022). Dalam situasi yang semakin sulit, mereka mungkin mengurangi konsumsi barang esensial, yang berpotensi memperburuk kualitas hidup.

Pemaknaan pajak sebagai beban semata dapat menciptakan siklus negatif bagi perekonomian. Jika kita tidak dapat membedakan antara pajak yang berfungsi sebagai bagian dari pembangunan negara dan pungutan liar yang tidak sesuai, kita berisiko merusak daya beli masyarakat yang seharusnya dilindungi. Oleh karena itu, penting untuk berpikir kritis mengenai bagaimana membangun sistem pajak yang adil dan transparan.

***

Bibliografi

Kahn, R. (2020). The Economics of Trust: Rebuilding Relationships in a Time of Uncertainty. Stanford University Press.

Kahneman, D., & Tversky, A. (2020). Judgment Under Uncertainty: Heuristics and Biases. Cambridge University Press.

Norton, M. I., & Ariely, D. (2022). Building a Better Tax System: The Role of Behavioral Economics. Harvard Business Review.

Piketty, T. (2019). Capital in the Twenty-First Century. Belknap Press of Harvard University Press.

Sweeney, G., & Soutar, G. N. (2019). Public Perceptions of Taxation and Its Impact on Economic Behavior. Journal of Economic Psychology.

Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2021). Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. Yale University Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun