Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Alasan Mengapa Misinformasi Lebih Memikat

30 November 2024   18:10 Diperbarui: 1 Desember 2024   10:52 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disonansi Kognitif

Disonansi kognitif merupakan ketidaknyamanan yang muncul ketika seseorang memegang dua keyakinan bertentangan. Dalam konteks media sosial, ketika seseorang menyadari bahwa informasi yang mereka sebar mungkin salah, mereka menghadapi ketidaknyamanan yang sulit dihadapi.

Seorang influencer di Instagram yang mengklaim bahwa makanan tertentu dapat menyembuhkan penyakit kronis tanpa bukti ilmiah, menerima reaksi luas yang mengundang perdebatan. Meskipun banyak bukti yang menentang klaim tersebut disajikan, sang influencer memilih untuk memblokir pengritiknya dan bertahan pada posisinya, dan ini menandai disonansi kognitif dengan menolak fakta yang merugikannya.

William J. Brady menambahkan bahwa kemarahan turut mempercepat penyebaran misinformasi, sama halnya dengan informasi yang valid (McLoughlin, 2024). Menanggapi konten yang tidak akurat, individu sering kali memperkuat posisi mereka yang sejatinya salah, menciptakan perdebatan yang tidak produktif di kalangan pengikut mereka.

Cara Melawan Misinformasi

Salah satu contoh penting tentang cara melawan misinformasi muncul di Instagram, di mana sebuah klaim menyebutkan bahwa makanan tertentu dapat menyembuhkan penyakit serius. Meskipun klaim tersebut didukung gambar menarik dan testimoni sekian banyak individu, pakar kesehatan segera memberikan bantahan ilmiah. Mereka menekankan pentingnya pendekatan berbasis bukti dalam konteks kesehatan dan mendorong pengguna untuk lebih kritis.

Penelitian Granados Samayoa (2024) menunjukkan bahwa guna menghadang misinformasi memberikan fakta langsung lebih efektif daripada hanya mengoreksi informasi yang salah. Ini mengingatkan kita untuk tidak hanya menyerap informasi tetapi juga memverifikasi kebenarannya.

Penyebaran misinformasi di media sosial adalah fenomena yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis seperti bias atribusi, self-confirmatory bias, dan disonansi kognitif. Dengan memahami mekanisme ini, kita dapat mempersiapkan diri untuk memerangi misinformasi dan meningkatkan literasi media di kalangan pengguna.

Penting bagi kita untuk mendidik diri dan orang lain tentang cara memverifikasi informasi dan membaca emosi kita saat berinteraksi dengan informasi, demi memperbaiki kondisi digital di era yang semakin rentan terhadap penyebaran disinformasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun