Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Assessor

Direktur IISA Assessment Consultancy & Research Centre

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dan Keputusan Etisnya

23 Mei 2017   01:05 Diperbarui: 23 Mei 2017   03:26 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Dilemma Etis Seorang Ahok

Dilemma etis yang dihadapi Ahok adalah situasi yang melibatkan kutub benar dan salah, hak dan tanggung jawab, dan menyangkut kesejahteraan warga DKI. Cakupan masalah yang sedang ia hadapi memiliki dua atau lebih basis nilai atau basis etik yang harus ia pilih. Keputusan untuk tidak melanjutkan naik banding atas keputusan Majelis Hakim Jakarta Utara 9 Mei 2017 bukanlah sebuah model pembuatan keputusan yang harus disorot dari tangguh-lembeknya, tetapi dari sejauh mana keputusannya berorientasi pada kebenaran obyektif yang ditakar pada penghargaan hak, tanggung jawab dan kemaslahatan banyak orang.

2. Orientasi Pada Tujuan Jangka Panjang

Kemana pun kaki Ahok akan melangkah, ia tak dapat melepaskan beban tujuan di pundaknya. Tujuan jangka pendek --membuktikan diri tak menodai agama melalui naik banding-- dan jangka panjang --mencerahkan budi dan menginisiasi perubahan mental warga bangsa-- mungkin bertentangan atau bersaing satu sama lain. Apa yang akan terjadi jika dengan memenuhi tujuan jangka pendek Ahok membuatnya hampir tidak mungkin memenuhi tujuan jangka panjang? Dengan memenuhi tujuan jangka pendek, kemungkinan besar ia akan mengganjal kemungkinan mencapai tujuan jangka panjang. Tujuan jangka panjangnya mungkin saja merupakan sasaran yang bersifat abstrak (akankah terjadi perubahan?) dan konkrit sekaligus (memfaktualisasikan profesionalisme, kejujuran dan dedikasinya pada kehidupan warga melalui keterpenjaraannya?). Saat berproses dalam pembuatan keputusan etis ini, Ahok sangat mempertimbangkan apa tujuannya, bagaimana tujuan-tujuan ini bersaing, dan bagaimana tujuan-tujuan itu melibatkan dilemma etikanya.


3. Definisi Fakta Situasi / Masalah.

Mengenali rasionalitas dan kepedulian hidup yang tampak dari kinerjanya, sulit untuk mengesampingkan kemungkinan bahwa sebelum membuat keputusan Ahok memiliki semua informasi faktual terkait dari sumber informasi yang dapat ia percaya. Jika ia tidak cukup tahu tentang situasinya, setidaknya ia akan menanyakan pada diri sendiri, "Apa yang sedang terjadi dalam situasi ini?" "Apakah saya mendengar informasi dari orang yang dapat saya percaya?" "Bagaimana orang ini tahu informasi ini?" Jika jawaban dari salah satu dari pertanyaan ini adalah "Saya tidak tahu," maka ia perlu mengumpulkan lebih banyak informasi sebelum mengambil keputusan. Dalam hal ini tak mengherankan bahwa orang berpikir ia harus membuat keputusan dengan sangat cepat, seolah-olah panik, dan tidak sempat mengumpulkan lebih banyak informasi. Dan mungkin benar bahwa keputusan memang perlu ia buat segera, namun saya kira ia kesegeraan itu lebih soal ketepatan saat dan bukan desakan waktu.

4. Pemahaman Ahok tentang Pemangku Kepentingan yang Terlibat dalam Keputusannya.

Pemangku kepentingan adalah orang atau kelompok yang mungkin terpengaruh oleh keputusan atau tindakan yang sedang dihadapi Ahok. Ia bukan pemangku kepentingan satu-satunya. Keluarganya adalah pemangku kepentingan utama. Rekan kerja, teman, bahkan anggota masyarakat yang ia kenal dan tak kenal adalah pemangku kepentingan, termasuk yang mengkriminalisasi atau membelanya dengan berbagai alasan. Bergantung pada keputusan yang akan ia buat, calon mitra sekali pun atau ketiga anaknya mungkin merupakan pemangku kepentingan.

5. Pilihan Tindakan / Keputusan dalam Situasi Ahok.

Butir 5 ini bersama-sama dengan butir 4 adalah langkah proses pembuatan keputusan yang berjalan seiring. Ketika Ahok memikirkan siapa pemangku kepentingan untuk situasi/keputusannya, kemungkinan besar hal itu akan terkait dengan berbagai tindakan. "Jika saya menganulir naik banding saya, maka pihak tertentu akan terpengaruh." Untuk mengembangkan seperangkat pilihan keputusan, bagaimanapun, ia melibatkan lebih dari sekedar memikirkan siapa yang akan terpengaruh oleh keputusan tersebut (Langkah 4). Pertama, Ahok harus mempertimbangkan semua informasi tentang situasinya (Langkah 3), termasuk konteksnya. Ia harus memikirkan tujuannya (Langkah 2) dan apa yang diperlukan untuk memenuhi tujuan tersebut. Dua belas hari tampaknya merupakan tenggat waktu yang cukup baginya untuk menuliskan daftar semua tindakan awal yang dapat ia dapat lakukan dalam situasinya. Begitu ia telah menyusun daftar pilihan keputusan, ia perlu mencocokkan sejauh mana semua pemangku kepentingan menanggapi keputusan yang akan ia buat. Ahok mungkin menemukan bahwa banyak pemangku kepentingan terpengaruh oleh keputusan yang ia buat.

6. Emosi dan Naluri Ahok

Begitu Ahok memiliki daftar kemungkinan tindakan untuk situasinya, sulit dibantah bahwa ia menanggalkan penilaian berdasarkan emosi dan nalurinya. Berdasarkan emosi atau nalurinya yang selama ini terbukti menghantarkannya pada kinerja yang tak terbantahkan, ia dapat menentukan pilihan mana yang tampaknya menjadi yang terbaik dan mengapa pilihan itu lebih baik. Dengan kapasitasnya mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, tenggat waktu berdiam diri di keheningan bui selama dua belas hari tampaknya memberikan cukup waktu baginya untuk mengambil jarak dengan naluri dan emosinya sehingga ia dapat menyelesaikan penilaian yang lebih komprehensif mengenai kemungkinan opsi yang akan ia ambil. Sebagai konselor dengan jam praktek lebih dari 25 ribu jam/sesi, saya menyimpulkan bahwa Ahok adalah sosok pribadi yang mampu mengambil jarak  pilah antara emosi dan nalurinya. Ini terbukti dari tindakannya yang memiliki tingkat tinggi baik pada konsistensi (ajeg), konsensus, dan distingsi terhadap situasi, orang, dan masalah yang dihadapi.  Bahwa banyak orang berkomentar tentang pembawaannya yang temperamental, saya melihatnya lebih sebagai interpretasi gaya yang ditangkap oleh mereka yang memiliki kerentanan mengalami kecenderungan introyektif sehingga mudah mengandaikan bahwa jika mereka berekspresi seperti Ahok, maka mereka adalah kasar dan emosional; dan inilah sebenarnya mekanisme yang melatari pelabelan mereka terhadap ekspresi sosial Ahok di ruang publik.  

7. Standar, Pertentangan, Prioritas dan Alasan Ahok Memilih Nilai

Ada kemungkinan Ahok menemukan bahwa beberapa nilai memiliki standar yang saling bersaing. Jika ia menganulir naik bandingnya, apakah lantas ia mengafirmasi dakwaan bahwa ia benar-benar telah melakukan penodaaan agama?  Kalau mayoritas pemangku kepentingan kemudian meyakini hal ini, bagaimana implementasi dari tujuannya untuk mencerahkan warga bangsa? Sejauh mana ia menemukan titik konklusi untuk mendamaikan kompetisi ini? Pada bagian mana berbagai nilai dan standar itu tumpang tindih? Adakah nilai yang ia tidak pernah berkompromi? Jika demikian, apa nilai yang membuat Ahok tidak akan pernah berkompromi?

8. Konsekuensi Potensial Keputusan Ahok terhadap Semua Pemangku Kepentingan

Pilihan keputusan Ahok memiliki konsekuensi. Keputusannya memiliki campuran konsekuensi baik dan tidak begitu baik (bahkan buruk). Ini terkait dengan pilihan keputusan yang ia pikirkan di langkah ke-5, terutama terkait apa konsekuensi potensial (baik dan buruk) itu? Saat menimbang konsekuensi bagi para pemangku kepentingan, saya pikir Ahok memahami bagaimana situasi dan efeknya terhadap orang lain dan bagaimana mereka bereaksi terhadap situasi tersebut. Dengan lain ungkap, Ahok telah menempatkan dirinya pada posisi orang lain atau kelompok pemangku kepentingan. Ia telah membayangkan bagaimana orang lain (pemangku kepentingan) berpikir dan merasakan tentang dilemma etikanya dan bagaimana mereka akan berpikir dan merasa jika Ahok bertindak berdasarkan atas berbagai pilihan keputusannya. Yang jelas, Ahok hampir tidak mungkin menghindari semua konsekuensi negatif. Kunci pegangannya ada pada nilai atau standar yang paling penting untuk dijunjung dalam situasi khusus ini. Ini menjadi titik sorot, sekaliber apa pertimbangan etisnya, dan gilirannya sekaliber apa kenegarawanannya.

9. Keputusan Ahok dan Karakter Pribadinya

Keputusan Ahok untuk menganulir naik banding menunjukkan karakternya. Keputusannya akan menjadi tolok ukur sejauh mana kehormatannya karena sikap etisnya. Keputusannya akan semacam sepatu ke mana orang membayangkan seandainya mereka memasukkan kaki ke dalam sepatu itu dan melihat dilemma etis Ahok dari sudut pandang mereka. Apa pun pendapat mereka, hal itu merepresentasikan keputusan apa yang akan mereka lakukan jika mereka berada dalam posisi sebagai Ahok. Mereka akan menilai, apakah keputusan Ahok merupakan bagian dari rangkaian pilihan mereka? Jika tidak, dengan seluruh kapasitas kejujuran diri, mungkin mereka akan memasukkan opsi keputusan itu sebagai daftar nilai unggul yang selama ini belum mereka pertimbangkan; kecuali mereka memang telah rabun etika.

10. Apakah Ahok harus Memutuskan Menganulir Naik Bandingnya?

Jika pembatalan naik banding merupakan buah keputusan, dapat diyakini bahwa Ahok telah menempuh dan melewati semua langkah dalam pembuatan keputusan etisnya, yakni keputusan yang membantunya menjalani nilai, menghidupi standar nilai, dan menghadapi semua konsekuensi dari keputusan etisnya.

11. Hasil/Akibat dari Keputusan Ahok

Meskipun Ahok telah membuat keputusan dan bertindak atas dasar keputusan itu, proses pembuatan keputusan etisnya belum berakhir. Bagian penting dari prosesnya adalah bagaimana ia kelak mengevaluasi konsekuensi sebenarnya dari keputusannya. Benar bahwa selama proses pembuatan keputusannya, ia memikirkan siapa pemangku kepentingan potensial dan apa konsekuensi potensialnya. Yang lebih penting kemudian adalah, sejak keputusan ia buat, apa yang kemudian terjadi? Apa yang ia pikir dapat terjadi? Apakah ia menemukan kedamaian dengan keputusannya? Apakah ada konsekuensi negatif yang tidak ia antisipasi? Apakah nilai dan standarnya masih utuh? Jika ia tidak puas dengan keputusannya atau jika konsekuensi negatif yang tidak ia inginkan atau tidak ia antisipasi telah terjadi, mungkin ia dapat memperbaiki situasi dengan memilih opsi lain. Namun, ia juga mungkin memiliki dilemma etika baru untuk ia hadapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun