Mohon tunggu...
Edy Setyawan
Edy Setyawan Mohon Tunggu... profesional -

Traveling dan fotografi adalah bagian yang tak terpisahkan dari saya. Saya menyukai tantangan baru dan tertarik untuk menjelajahi alam, mengenal ragam budaya dan manusia. Lihat lebih jauh di esetyawan.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menyapa yang Tak Bernyawa di Trunyan

13 Agustus 2013   01:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:23 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puluhan tengkorak yang sudah berlumut menyambut dengan gigi-gigi mereka yang sudah tanggal, ketika kami memasuki area pemakaman. Tengkorak-tengkorak itu tersusun rapi tepat di sebelah kiri pohon besar yang menjulang tinggi dengan akarnya yang kokoh di depan kami. Pohon Taru Menyan. [caption id="attachment_271993" align="alignnone" width="640" caption="Tumpukan tengkorak di Area Pemakaman Desa Trunyan"][/caption] Siang itu, aku bersama dengan sembilan temanku mengunjungi Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Perjalananku kali ini kugunakan untuk menjawab rasa penasaran masa kecilku tentang budaya pemakaman di Desa Trunyan. Ya, aku tahu tentang Trunyan sekitar 20 tahun yang lalu. Saat itu, salah seorang guruku menjelaskan bagaimana warga Desa Trunyan memakamkan mayat hanya dengan meletakkan jasad orang yang meninggal di bawah pohon Trunyan, tidak dibakar seperti halnya masyarakat Bali lainnya maupun dikubur di dalam tanah. Unik bukan?! Bersama Ketut, pemandu kami yang memang warga asli Trunyan, mobil kami berpacu melintasi jalan kecil tepat di tepi Danau Batur. Perjalanan kami tidaklah mudah, karena jalan menuju Desa Trunyan berliku-liku dan sempit. Beberapa kali mobil mengerang mendaki jalan yang curam. Walaupun begitu, danau dan Gunung Batur di sebelah kiri kami menyuguhkan pemandangan yang menyegarkan mata. Setelah 20 menit, akhirnya kami tiba di Desa Trunyan yang tepat berada di sebelah timur Danau Batur. Danau Batur dan Desa Trunyan sebenarnya terletak di kaldera atau cekungan bekas letusan Gunung Batur di masa lalu. Untuk menuju area pemakaman, kami meneruskan perjalanan dengan menggunakan kapal kayu. Sepanjang perjalanan, kami sempat berpapasan dengan beberapa nelayan yang sedang menjaring ikan maupun mendayung di atas perahu kayunya. Sekitar 10 menit menikmati tenangnya air Danau Batur, kapal kami menyandar di dermaga tepat di depan gapura makam. This is it! Mendaratkan kaki di dermaga kayu, aku sudah bersiap-siap untuk mendaki bukit di depan kami menuju area pemakaman. Bismillah. Ditemani Ketut, aku dan teman-teman melintasi gapura dan eng ing eng!! Baru sepuluh langkah dari gapura, Ketut berkata, “Ya..inilah lokasinya!”. “Yaelah...kirain masih jauh naik ke bukit, eh ternyata makamnya cuma di sini,” pikirku. [caption id="attachment_271999" align="alignnone" width="640" caption="Area Pemakaman dan Pohon Taru Menyan"]

137633250413397736
137633250413397736
[/caption] Tepat di sebelah kiri tumpukan tengkorak-tengkorak, anyaman bambu berbentuk prisma atau ancak saji tampak berjejer dihiasi dengan payung dan sesajen. Di dalam ancak saji inilah jasad-jasad itu disemayamkan. Di sebelah kirinya lagi, tulang-tulang tampak berserakan bersama dengan serasah kayu dan dedaunan. Secara sekilas, area pemakaman ini bisa dibilang tidak terlalu bersih dan terawat. Anyway,kok tidak bau busuk ya?? Benar saja cerita yang aku dengar selama ini. Walaupun terpapar udara bebas, bau proses pembusukan sama sekali tidak tercium. Kenapa? Ya, pohon Taru Menyan jawabannya. Pohon Taru Menyan dipercaya menyerap bau dari jasad yang disemayamkan di dekatnya sehingga jasad-jasad yang mengalami proses pembusukan itu tidak bau sama sekali. Ya, tidak bau sama sekali. Ajaib bukan?! Ketut menjelaskan bahwa ada jasad yang baru disemayamkan tiga hari yang lalu. Aku pun penasaran dengan kondisi jasad tersebut. Melalui sela-sela anyaman bambu, mataku mengintip ke dalam.Beuh!Tampak bagian wajah jasad itu yang mulai bengkak dan dikerumuni lalat. Aku bidikkan kameraku dan rasa mual pun tak terelakkan walaupun tidak tercium bau busuk sama sekali.Aish! [caption id="attachment_272000" align="alignnone" width="640" caption="Ancak Saji yang terbuat dari bambu"]
1376332643448308280
1376332643448308280
[/caption] “Di sini, jasad yang boleh disemayamkan adalah jasad orang dewasa yang sudah menikah, meninggal secara wajar, dan tidak memiliki luka atau cacat. Anak-anak dan orang yang meninggal secara tidak wajar, seperti karena kecelakaan ataupun dibunuh, tidak boleh dimakamkan di sini dan ada lokasi pemakaman lain yang khusus untuk mereka,” jelas Ketut sambil berdiri di depan kami. Selain itu, hanya warga Desa Trunyan yang boleh disemayamkan di tempat ini. Warga Desa Trunyan sendiri sebenarnya termasuk masyarakat Bali Aga atau orang Bali asli. KataTrunyansendiri berasal dari dua kata, yaitu‘Taru’yang berarti pohon dan‘Menyan’yang berarti harum dalam bahasa Bali. Taru Menyan merupakan pohon yang disakralkan oleh masyarakat Desa Trunyan yang konon mengeluarkan aroma yang sangat harum. Tidak ada yang mengetahui secara pasti umur dari pohon ini. Yang pasti, pohon ini sudah ada terlebih dahulu dibandingkan desa ini, karena nama Desa Trunyan diilhami dari nama pohon Taru Menyan. “Paling banyak 11 jasad yang boleh disemayamkan di tempat ini,” papar Ketut. Dulu pernah disemayamkan 12 jasad, namun malah tercium bau jasad yang membusuk. Mungkin pohon Taru Menyan ini hanya mampu menetralisisasi bau dari 11 mayat. Ritual pemakaman ini harus dilakukan pada hari yang baik. Mulai dari pembuatan ancak saji, penyiapan sesajen dan pakaian madya untuk jasad hingga proses pemakaman. Untuk menyemayamkan jasad yang baru, tulang belulang di dalam ancak saji yang paling lama diambil dan selanjutnya ditempatkan mengonggok bersama tumpukan tulang-tulang lain di sebelah kiri jejeran ancak saji. Setelah bekas persemayaman dibersihkan, barulah jasad yang baru dibaringkan dalam kondisi telanjang dan ditutupi pakaian, kemudian dipagari dengan ancak saji. Semua ritual ini dilakukan dalam satu hari. [caption id="attachment_271994" align="alignnone" width="634" caption="Tengkorak di dalam Ancak Saji"]
13763311451260444417
13763311451260444417
[/caption] “Perempuan asli Desa Trunyan tidak diperbolehkan memasuki area ini karena mereka percaya bahwa jika sampai hal ini (perempuan memasuki areal pemakaman) terjadi maka bencana akan menimpa desa mereka. Namun, perempuan yang berasal dari luar Desa Trunyan tetap diperbolehkan masuk ke area ini,” tutup Ketut mengakhiri kunjungan kami. Well,lega rasanya akhirnya rasa penasaranku terobati. Namun, satu hal yang disayangkan dari Desa Trunyan dan lokasi pemakaman ini adalah masih banyak warga yang meminta-minta uang dari kami dan pengunjung lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun