Padahal, tiga hari sebelumnya saat menggelar konferensi pers APBN Kita, Senin (26/8), dia mengakui bahwa ekonomi dunia telah melemah dan risikonya bakal makin meningkat. Kondisi ini terkonfirmasi dalam statement atau indikator sesudah eskalasi pada Juli Agustus. Pengakuan Menteri Sri ini adalah kali kedua dalam bulan ini.
Menurut dia, perlambatan ekonomi dunia ditandai dengan bertaburnya data ekonomi di berbagai negara terus membuat cemberut. Jerman, Singapura, negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Meksiko, Brasil dalam situasi sulit. Eropa dan China pun mengalami hal sama. Bahkan kawasan Asia,termasuk India, yang jadi lokomotif penghela ekonomi di pasar berkembang juga melemah.
Tapi dasar kopeg, babak-belurnya perekonomian dunia justru membuatnya bertepuk dada.. Katanya, di tengah perekonomian dunia yang lesu, Indonesia masih bisa tumbuh 5%. Kalau saja dia mau sedikit humble, tentu pernyataan seperti itu tak bakalan keluar dari mulutnya. Terlebih lagi dengan potensi yang ada dan menanggalkan kebijakan ekonomi non neolib, seharusnya Indonesia bisa terbang di 6,5-7%. Setidaknya, begitulah jualan Jokowi waktu maju di ajang Pilpres 2014.
Sebelumnya, Rizal Ramli berkali-kali memperingatkan ekonomi kita jauh dari  baik-baik saja. Berdasarkan rentetan indikator yang memburuk, dia menyebut Indonesia tengah mengalami the creeping crisis, krisis yang merangkak. Seabrek indikator makro dan mikro yang disorongkannya memang dengan fasih bercerita ekonomi Indonesia terseok-seok, kalau tidak mau disebut amburadul.
Tutupnya sejumlah gerai penyandang nama besar, adalah bukti melemahnya kinerja sektor ritel yang diperkirakan masih akan berlanjut. Daya beli dan consumer goods juga masih akan turun. Pukulan telak dialami sektor properti, kecuali untuk beberapa segmen.
Indeks Nikkei menyebut sekitar seperempat perusahaan yang melantai di BEI telah berubah jadi zombie company. Â Keuntungan yang mereka terima tidak cukup untuk membayar utang. Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus. Gejala gagal bayar utang alias default juga melanda sejumlah perusahaan besar.
Seperti tidak cukup, McKinsey & Company menyebut 25% utang valas jangka panjang swasta kita memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Artinya, perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Jelas rawan.
Jadi, Sri, ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Data dan fakta seperti apalagi yang bisa membuka mata-hatimu? [*]
Jakarta, 2 September 2019
Edy Mulyadi, wartawan senior
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H