Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

PLTU Riau-1, RUPTL, dan Sofyan

30 April 2019   15:53 Diperbarui: 30 April 2019   16:15 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Rencana pembangunan Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Riau-1 berujung kisruh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menenggarai adanya pelanggaran hukum. Bukan itu saja, badan anti rasuah tersebut bahkan sudah menetapkan sejumlah nama kondang sebagai tersangka.  Ada Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. Yang teranyar, Dirut PT PLN (Persero) Sofyan Basir pun menyandang yang sama.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyoal stempel tersangka para tokoh tadi. Tentu saja, itu menjadi ranah para praktisi hukum. Saya tidak punya secuil pun otoritas di domain ini.  Tapi, ada baiknya kalau  kita memahami kasus PLTU Riau-1 dalam bingkai yang lebih luas, dalam kerangka Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

RUPTL adalah pedoman pengembangan sistem tenaga listrik di wilayah usaha PLN untuk sepuluh tahun mendatang. Dalam penyusunannya, RUPTL tidak semata untuk memenuhi kebutuhan listrik sepuluh tahun ke depan, tapi juga mempertimbangkan jenis energi primer yang akan digunakan. Antara lain, Energi Baru dan Terbarukan (EBT), gas, batubara, dan minyak bumi.

Tentu saja, RUPTL juga harus mempertimbangkan dana yang dibutuhkan agar lebih ekonomis. Tujuannya supaya bisa dihasilkan listrik yang cukup, andal serta pemanfaatan energi primer yang tersedia secara kontinyu dan  berorientasi pada pengelolaan lingkungan hidup yang bersih. Dengan begitu, inefisiensi perusahaan dapat ditangkal sejak tahap perencanaan.

Proyeksi kebutuhan tenaga listrik dapat dihitung melalui dua jenis pendekatan. Pertama, melalui pertumbuhan penduduk yang fokusnya pembangunan jaringan transmisi dan distribusi kelistrikan. Kedua, lewat pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Kebijakan ketenagalistrikan juga  merujuk pada beberapa aspek lain. Seperti, ekonomi makro, rasio elektrifikasi, pertumbuhan penduduk, dan focus group discussion (FGD). Nah,  FGD ini melibatkan banyak pihak, di antaranya Kementerian/Lembaga terkait, Pemprov dan badan usaha, serta Dewan Energi Nasional (DEN).

Khusus terkait ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi, ia mengacu pada APBN. Sedangkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) berpedoman kepada visi ekonomi Indonesia yang disusun oleh Bappenas. Pembuatan RUKN merupakan amanat dari Kebijakan Energi Nasional (KEN). Salah satu pihak penting dalam penyusunan RUKN adalah Pemerintah Daerah yang diminta membuat perencanaan pembangkit listrik sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya masing-masing.

Perencanaan pembangkit listrik berbasis potensi daerah bertujuan untuk memenuhi target ketahanan energi nasional. Jika suatu daerah memiliki tambang batubara, maka bisa dibuat mine-mouth coal-fired power plant atawa pembangkit listrik tenaga uap mulut tambang. Begitu pula jika terdapat geothermal, maka sebaiknya membangun pembangkit berbasis panas bumi.

Ketentuan yang ada juga mengharuskan penyusunan RUPTL melalui tahapan yang sangat panjang, mulai tingkat daerah yang tertuang dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD), selanjutnya menjadi dasar dalam penyusunan RUKN dengan mempertimbangkan masukan dari Dewan Energi Nasional dan visi ekonomi Indonesia lima hingga 10 tahun mendatang.

Sampai di sini cukup mudheng (paham)soal RUPTL, ya. So, begitu banyak pihak yang terkait dan terlibat dalam penyusunannya. PLN hanyalah salah satu pemangku kepentingan  yang terlibat dan dilibatkan. Dirut PLN? Yah, apalagi. Katakanlah dia punya wewenang gede banget di perusahaan, tetap saja Sofyan dipagari prinsip-prinsip Good Coorporate Governance (GCG).

Sejarah PLTU Riau-1

Nah, sekarang apa kaitannya RUPTL dan PLTU Riau-1? Begini sejarahnya. Dalam RUPTL 2012-2021 disebutkan proyek PLTU Riau Kemitraan 2x600 MW antara PLN-PT Bukit  Asam (PTBA)-Tenaga Nasional Berhad (TNB), perusahaan asal Malaysia. Skema yang digunakan, 600 MW ditransfer ke Malaysia dan sisanya untuk kebutuhan Sumatra.

Namun dalam RUPTL 2016-2015 terjadi perubahan skema bisnis. Rencana transfer ke Malaysia tidak jadi karena off taker-nya bukan PLN. Berhubung kebutuhannya untuk Sumatra, maka yang dibangun hanya 600 MW (2x300 MW) karena terkait masalah keandalan (tegangan dan stabilitas).

Pembangunan PLTU Riau-1  mengacu pada Perpres 42/2016 jo 14/20017 tentang percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan (PIK). Prosesnya sendiri dimulai setelah terbitnya Perpres 14/2017 tanggal 13 Februari 2017. Saat itu PLN menugaskan anak perusaannya, yaitu PT PLN Batu Bara (PLNBB) dan PT Pembangkit Jawa Bali (PJB),  sesuai keputusan Rapat Direksi 15 dan 16 Mei 2017.

Sampai di sini pertanyaan yang mengemuka, apa peran Sofyan? Seperti disebutkan sebelumnya, PLTU Riau-1 menjadi bagian dari RUPTL. Padahal, ada begitu banyak pihak yang terkait dan terlibat dalam penyusunannya. PLN hanyalah salah satu pemangku kepentingan hanya yang terlibat dan dilibatkan. PLN, apalagi Sofyan, hanyalah satu baut di antara sistem yang menurut ketentuan harus ada.

Adalah benar bahwa penentuan RUPTL antara lain bersumber dari kebutuhan daerah-daerah yang dikaji oleh PLN. Namun demikian, hasil kajian itu dievaluasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk selanjutnya diputuskan oleh Menteri ESDM. Dengan demikian, bisa dikatakan tidak ada kewenangan PLN, termasuk Dirutnya, untuk mengusulkan apalagi menentukan RUPTL sendiri. Jadi, kalau pun Sofyan tetap bandel hendak main-main, sejak dini dia bisa kena semprit dari otoritas di atasnya.

Pengakuan di BAP

Jubir KPK Febriansyah kepada awak media mengatakan, Sofyan diduga bersama-sama membantu Eni dan kawan-kawan menerima janji dari Kotjo untuk pembangunan PLTU Riau-1. Dia diduga melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 hurut b atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Benarkah Sofyan terlibat? Hanya Allah dan mereka yang tahu. Namun, seperti dikatakan Febri, Sofyan menjadi tersangka karena diduga menerima janji akan mendapat fee dari proyek tersebut. Sekali lagi, diduga menerima janji.

Dugaan ini muncul berdasarkan pengakuan Eny Saragih yang tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Pengakuan perempuan ini bisa benar, bisa juga salah. Tapi dalam logika awam (bukan praktisi hukum), menerima janji AKAN mendapat fee berarti BELUM menerima.

Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menerima janji untuk mendapatkan imbalan memang dikategorikan sebagai korupsi.  Pada kasus Sofyan, dugaan itu didasarkan pada pengakuan Eny, yang bisa jadi  benar bisa juga salah. Nakhoda pabrik setrum pelat merah itu sendiri menyatakan clean. Bahwa dia terlibat dalam prosesnya, tentu tidak bisa dihindari karena jabatannya selaku Dirut. Mosok untuk proyek bernilai ratusan juta dolar Dirut PLN cuma plonga-plongo. Dia juga pasti bukan tipe orang yang menandatangani dokumen penting tanpa membaca apa yang ditandatanganinya.

Sebagai profesional, Sofyan punya rekam jejak lumayan panjang. Sebagian besar karirnya ada di dunia perbankan. Sejauh ini, kita tidak melihat dia termasuk orang yang neko-neko. Paling tidak, sampai kasus PLTU Riau-1 ini, publik belum pernah disuguhi berita sumir tentang keprofesionalitasannya.

Padahal, godaan di dunia perbankan tidak main-main. Terlebih lagi sebagai Dirut, peluangnya untuk 'aneh-aneh' bisa disebut terbuka lebar. Cerita memperoleh fee sekian persen atas kredit yang dikucurkan kepada nasabah kakap dan superkakap yang jumlahnya bisa lumayan jumbo, sudah menjadi rahasia umum. Dan, lagi-lagi, di sini Sofyan telah membuktikan tidak ada langkahnya  yang melenceng. Paling tidak, begitulah yang kita tahu.

Bagaimana kira-kira akhir drama ini? Biarlah pengadilan yang memutuskan. Kita berharap dan percaya, keadilan akan ditegakkan. Aamiin... [*]

Jakarta, 30 April 2019

Edy Mulyadi, pemerhati energi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun