Apesnya lagi, PLN tidak bisa (tidak boleh?) memutus aliran listrik sesuai ketentuan. Artinya, lilstrik harus tetap dialirkan, agar citra penguasa tetap kinclong. Soal direksi PLN harus putar otak dan akrobat untuk mengatasi bleeding, ya sudah nasibnya lah. Siapa suruh mau jadi direksi. Hehehe...
Pertamina berhasil mencuri perhatian dan empati publik karena mengemban misi BBM satu harga di seluruh Indonesia sejak awal 2018. Kebijakan ini jelas sangat membebani keuangan perusahaan. Itulah sebabnya, baru beberapa bulan melaksanakan program ini, neraca Pertamina langsung kebakaran. Pada periode Januari-Februari 2018 saja, Perseroan rugi Rp3,9 triliun.
Tahukah kita, bahwa kebijakan satu harga listrik sudah diemban PLN sejak perusahaan itu mbrojol berpuluh tahun silam. Tentu saja, program ini amat menggembirakan rakyat. Contohnya, masyarakat Pulau Nangka, Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungai Selan Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Sejak April silam jaringan listrik PLN masuk ke pulau tersebut. Warga yang berjumlah 70 kepala keluarga (KK) sekarang bisa menikmati listrik dengan hadirnya Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berkapasitas 2x100 kilo Watt (kW).
Untuk menerangi rumah sebanyak 70 KK, PLN harus mendatangkan PLTD yang berbahan bakar solar. Bisa dibayangkan betapa repotnya petugas PLN di lapangan mengangkut solar ke dusun terpencil itu. Lalu, bisakah iuran listrik 70 KK yang berprofesi sebagai nelayan tadi menutupi biaya operasi dan produksi listrik di sana?
Amboi, betapa dahsyatnya beban keuangan BUMN yang mengembang misi sosial (untuk tidak menyebut; membiayai ongkos politik penguasa). Untungnya, sejak beberapa waktu lalu Kementerian BUMN lumayan sukses menjadi dirijen untuk mengorkestrai 35 BUMN dalam menanggung biaya elektrifikasi seluruh negeri. Melalui program Sinergi BUMN, PLN dan dari 34 BUMN lain gotong-royong menyalurkan listrik gratis. Sebagai tahap awal, ada 130.248 KK dengan target tersambung 100.970 KK di Desember tahun ini. Hingga 30 November, jumlah yang tersambung sudah 60.798 KK, melampaui target di 30 November yaitu 60.000.
PR yang lain
Di luar kebijakan satu harga dan target elektrifikasi, tim di bawah komando Sofyan juga harus berkutat menyiasati mahalnya harga batubara dan gas untuk menghidupkan pembangkit-pembangkitnya. Masalah lain yang tidak kalah pelik adalah fluktuasi nilai tukar rupiah. Maklum, komponen biaya pabrik setrum ini kebanyakan justru dalam dolar. Padahal, pendapatannya justru melulu dari rupiah.
Kerugian akibat selisih kurs (karena eksposur utang dalam dolar) sampai triwulan ketiga 2018 mencapai Rp18,5 triliun. Saat angka ini terekspos, publik langsung memaknai adanya masalah amat serius yang menyebabkan neraca berdarah-darah.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suparteka menjelaskan, kerugian akibat selisih kurs muncul karena keharusan perusahaan melaporkan kinerja keuangan dalam mata uang rupiah. Kendati sebagian besar pinjaman PLN masih akan jatuh tempo pada 10-30 tahun lagi, berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan hanya untuk keperluan pelaporan keuangan, maka pinjaman Valas tersebut harus diterjemahkan (kurs) ke mata uang rupiah. Jadi, secara akuntasi, kerugian itu bersifat unreleased loss atawa belum jatuh tempo. Kalau di pasar valas, disebut potential loss, belum terjadi sampai dieksekusi buy atau sell-nya.
Selain itu, guna meringankan beban keuangan, Sofyan dan timnya telah melakukan reprofiling pinjaman. Hasilnya, diperoleh pinjaman baru dengan tingkat bunga yang cukup rendah dan jatuh tempo lebih panjang menjadi 10-30 tahun.
Dari sisi kinerja operasional, sampai kuartal III 2018 PLN mencatat kenaikan nilai penjualan tenaga listrik Rp12,6 triliun atau 6,93% menjadi Rp 194,4 triliun. Sedangkan volume penjualan sampai September 2018 sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) atau tumbuh 4,87% ketimbang tahun lalu sebesar 165,1 TWh.